🍒19

78 11 2
                                    

Musim telah berganti, namun ingatan tentang Heeyeong tak pernah sekalipun sirna dari ingatannya. Jimin sadar bagaimana cinta itu telah tertanam begitu dalam pada gadis pujaannya. Bukan membandingkan dengan rasanya pada Aeri dulu, tapi pada hakikatnya cinta yang sesungguhnya begitu sempurna pada Lee Heeyeong.

Matanya mengedar memandang langit siang ini, memutar apa yang pernah terjadi pada mereka sejak awal pertemuan itu. Jangan tanyakan rindu yang telah menghabisinya sejak hari itu—hari dimana Heeyeong mengatakan jika perasaannya hanya sebatas permainan. Entah disadari atau tidak oleh wanita itu, Jimin tak percaya secuil pun dari kalimat yang terlontar. Ada yang yang tak bisa berbohong dari wanita itu. Mata. Jimin hanya mempercayai itu. Sepintar apa wanita itu berucap, nyatanya Jimin selalu mampu menerka kejujuran Heeyeong dari matanya, sekadar itu. Simple bukan?

"Apa yang kau lamunkan, hmm?" suara ringan wanita yang muncul secara tiba-tiba di belakangnya memecah atensi pria itu.

Mata tipisnya melirik asal suara, membiarkan anakan rambut hitamnya berantakan tersapu angin. "Sedang apa kau disini?"

"Hmm, hanya bermain. Tadi aku bertanya pada salah satu karyawanmu disana dan kebetulan kau berada disini. Ada yang salah?"

Jimin menghembuskan napas jengahnya, menarik rambutnya yang mulai panjang ke belakang. Mencelos kala Aeri mencoba menata rambutnya seperti saat mereka berkasih dulu. "Aku hanya tahu, tak ada yang kebetulan di dunia ini. Apalagi tentangmu. Kau pasti membututiku sejak tadi dan mencari waktu untuk mendekatiku beberapa waktu kemudian agar aku tak curiga padamu."

Aeri menunduk, tersenyum simpul dan menaikkan kacamata hitamnya hingga tersemat di atas kepala. "Kau terlalu mengenalku, Jim."

Pria itu tahu semuanya, bukan hapal mengenai tingkah laku Aeri. Tapi itu adalah kebiasaan Aeri sejak dulu. Wanita itu mempunyai beribu akal bulus, tapi sejak dari Jepang saat itu Jimin tak lagi bisa mempercayai segala ucapan wanita itu. Jangan salahkan Jimin jika kepalanya hanya menaruh curiga dan curiga, toh itu semua karena kenyataan membuatnya belajar untuk lebih berhati-hati menaruh rasa percaya pada seseorang.

"Pulanglah. Aku tak ingin Jungkook menjadi salah paham terhadap kita."

"Dia sedang berada di Seoul untuk beberapa hari ke depan. Jadi dia tak akan tahu apapun."

Tawa sengit mendadak muncul dari bibir pria itu. Senyum dinginnya pun turut menghias di wajah tirusnya.

"Kenapa kau tersenyum seperti itu?"

"Tak apa. Aku hanya ingin tertawa saja. Tak lebih."

"Kau tak perlu khawatir. Aku bisa menangani Jungkook, dia akan percaya padaku."

Jimin memutar tubuhnya untuk menghadap Aeri yang masih menontoni pepohonan dari lantai tiga balkon restaurannya. Semudah itu?

Aeri mengangguk, membagi senyum manisnya yang dulu mampu membuat pria itu luluh dan tertunduk malu hingga mencubit pipinya karena gemas.

"Dan cara itu pula yang kau lakukan padaku dulu. Bukankah begitu?"

Senyum itu tertarik kembali, ada rasa yang menyayat di dalam sana. Secara tidak langsung wanita itu membuka satu topengnya. Dan bodohnya memang begitu keadaannya.

"Aku tidak apa, Aeri. Aku tidak marah. Aku bahkan bersyukur karena hari ini kau akhirnya memberi tahu satu hal yang selama ini kau sembunyikan dariku."

Ouhh shit!! Mengapa dia menjebakku seperti ini? Sial!

Pria itu melenggang pergi bersama senyum yang dalam, membiarkan Aeri dengan segala pikirannya. Kemudian meraih benda tipis dari saku celananya dan memilih salah satu kontak di daftar nama untuk dihubunginya. Tak butuh waktu lama, sambungan itu langsung diterima tanpa sapaan.

Cherry Blush [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang