“Kenapa kemarin kau menyelamatkanku? Aku bahkan tak ingin punya satu hutang budi pun terhadapmu.”
Hae-in diam. Matanya hanya berfokus pada apa yang ada di hadapannya. Jalan raya dengan aspal panas, lampu lalu lintas merah yang menyala di jarak beberapa meter dari tempatnya saat ini, bahkan melihat beberapa ahjuma (bibi) menyeberang jalan dengan menggandeng anak kecil, sepertinya memang ini waktu jam sekolah sedang bubar.
“Kau jangan pernah berharap lebih atas apa yang diputuskan orang tua kita. Kau paham ‘kan?”
Pria itu masih tak menghiraukan suara wanita yang duduk di samping kursi kemudinya. Bisa dikatakan seperti angin lalu, masuk telinga kanan dan berlari dari telinga kiri.
“Hae-in-ssi… Kau sengaja tak mengindahkan semua ucapanku? Eoh?!”
Heeyong telah mulai habis sabar. Tangannya mematikan audio yang sedari tadi menengahi keheningan mereka sejak keluar dari kantor Lee Corp. Sampai pada akhirnya Hae-in ikut berhenti menyanyikan lagu ballad kesukaannya dan membuang napas jengahnya hingga terdengar di perungu wanita itu.
“Aghh, okay. Sekarang mungkin kau bisa menjelaskan alasanmu kenapa kau begitu menolak perjodohan ini. Heum??”
“Karena aku tak menyukaimu.”
“Lalu siapa pria yang kau suka? Pria yang datang kemarin? Yang membawa boneka beruang kecil untukmu?”
Hae-in kembali menginjak pedal mobilnya, lampu hijau telah menyala. Mengijinkan para pengendara kembali melaju di tengah panasnya kota metropolitan ini.
“Dia sahabatku.”
“Baiklah kalau dia sahabatmu, maka siapa pria yang kau suka. Kau bisa katakan padaku? Atau pria itu hanya ada dalam imajinasimu saja nona Lee?” tanyanya dengan nada mengejek.
Andai kesopanan Heeyeong hilang, maka sudah pasti mulut itu akan disumpalnya dengan kertas yang ada di dalam tasnya. Tak peduli itu kertas penting atau tidak, asal mulut licin pria itu berhenti bicara seenaknya. Lagipula jika kertas penting toh dia bisa mencetak ulang dari file yang disimpannya semalam.
“Untuk apa aku katakan padamu, hah?!”
“Agar aku bisa menemuinya dan memintamu dari dia secara baik-baik. Bukankah itu sangat sopan dan tak menyalahi etika sopan santun?”
Shhiitt!!
“Cepat hentikan mobilmu atau aku lompat sekarang?”
Hae-in segera menoleh, memperhatikan raut wajah Heeyeong yang nampak sarat emosi terhadapnya.
“Baiklah, baiklah. Maafkan aku, aku hanya bercanda. Tidak usah dianggap serius. Ingat, kita sedang akan bertemu klien dan semua presentasinya berada di tanganmu. Ahh bukan di tanganmu, lebih tepatnya di tasmu. Dan kumohon jangan membuat masalah pribadi kita menghancurkan bisnis keluarga kita.”
“Aku manusia. Dan aku bukan saham di keluargaku!”
Mobil itu segera menikung di pertigaan jalan. Menuruni jalan gedung menuju basement. Memarkirkan kendaraan mereka dan segera menuju lantai atas untuk menyajikan presentasi pada klien yang menunggu mereka disana. Beberapa wakil perusahaan lain telah berkoordinasi melakukan pertemuan di ruang rapat, dan mereka menjadi wakil masing-masing dari perusahaan. Sayangnya perdebatan mereka membuat mood wanita itu cukup berantakan. Hari yang mengenaskan, nona cantik.
🍒
Lima belas menit lagi rapat akan dimulai, semua menyiapkan bah
an presentasi masing-masing, termasuk Heeyeong. Delapan pria muda telah berada disana, Heeyeong sedikit canggung karena dia satu-satunya wanita yang berada di antaranya, serasa seperti ada di sarang penyamun. Namun dalam kecanggungannya, bisik-bisik seorang pria di sampingnya membuatnya sadar bahwa satu peserta rapat belum juga hadir hingga saat ini. Matanya pun turut mengedar, mengamati satu per satu sambil menghitung seperti guru yang sedang mengabsen para muridnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Cherry Blush [End]
Fiksi PenggemarKimiko Florist. Tempat dimana pertama kali Hee Yeong bertemu dengan Park Ji Min. Memberi ingatan kuat pada dirinya tentang sebuah kebetulan yang manis dan menjadi sebuah takdir baru untuk dirinya. Hingga membuat wanita itu harus merasakan manis dan...