[12] Hope

872 65 0
                                    

NEW VERSION

🖤

"Bagaimana keadaannya di Madrid?"

"Sepertinya dia lebih banyak istirahat di rumah. Sudah seminggu aku tidak melihatnya keluar rumah selain suaminya, Tuan."

"Baiklah, lanjutkan pekerjaanmu."

Brahms mematikan panggilannya setelah mengetahui kabar terbaru gadisnya. Ia melirik Jessica keluar dari kamar, "Dia masih tidur?"

"Nanti juga dia bangun kalo minta dibuatin susu. Gue juga lupa soalnya." Jessica sedikit terpesona melihat setelan kerja Brahms kemeja biru dongker, celana hitam, dan jaket kulitnya. Simple namun tak menghilangkan aura menawannya.

"Kalian tidak masalah kutinggal?" Ia memastikan. Khawatir akan Jessica kembali mual dan Sea yang rewel sesekali.

"It's okay. Lagian setelah ini kita ke apartemen kok."

Brahms menatap tak suka, "Harus berapa kali kubilang agar kalian tinggal saja di sini?"

"Gue"

"Kali ini aku tidak akan menerima penolakanmu lagi. Aku akan meminta pegawai di sini untuk memindahkan barangmu ke penthouse ini." potong Brahms menegaskan.

Belum Jessica protes, Brahms menyela lagi. "Dan aku ingin kau berbicara sepertiku. Aku tidak begitu mengerti bahasamu yang kacau itu."

Jessica mendelik, kacau katanya? Ini gaul woy! Ah elah!

"Aku harus berangkat sekarang. Aku sudah membelikanmu ponsel jadi kabari aku jika terjadi sesuatu. Mengerti?"

Tak ingin banyak berdebat, Jessica mengangguk saja seadanya toh sebenarnya ia juga memiliki ponsel pribadi. Brahms meraih kunci mobilnya kemudian tubuh jangkung itu pergi ke perusahaan yang ia pimpin.

"Gimana si Jessica? Dia mau tinggal sama lo?" Rissa menyambarnya dengan pertanyaan saat Brahms baru saja sampai.

"Aku memaksa dan dia menerima." Brahms berjalan masuk bersama Rissa disambut banyak tundukan hormat dari para pekerja di sana. "Mungkin dengan terpaksa." tambahnya.

"Baguslah. Cara paksa emang cara lo." ucap Rissa. "Terus gimana Clare? Gue tau lo nyuruh Adrian buat cari orang yang bisa awasi dia."

"Apa kalian terus berbagi informasi tentang semua hal yang kulakukan diam-diam?" tanya Brahms geram.

Rissa tertawa seraya masuk ketika Brahms membukakan pintu ruangannya, "Gue sama dia kan pasangan serumah. Jaga orang yang sama pula."

Brahms memandang jalanan melalui dinding kaca sambil merokok seperti rutinitasnya sedangkan Rissa duduk di kursi kebesaran sang bos, "Aku tidak pernah membayangkan akan menjadi seorang ayah bersama perempuan lain. Selama aku hidup hanya Claretta yang kubayangkan untuk menjadi pasanganku meski aku tau itu tidak mungkin."

Rissa menghela napas panjang menyadari betapa besarnya cinta bosnya untuk sobat perempuannya yang sudah menikah itu. "Sekarang keadaan udah beda. Dia nikah sama Leo dan lo dipertemukan sama Jessica. Walaupun gue tau lo gak ada perasaan sama dia dan gue gak pernah setuju, tapi dia hamil anak lo. Lo berdua bakal punya anak. Jadi kalian harus sama-sama tanggung jawab. Gak cuma lo aja," jelasnya pengertian.

Asap rokok berhembus dari mulut Brahms perlahan, "Aku tidak tau keputusanku benar atau tidak."

"Menurut gue itu balik lagi ke diri lo. Nanti juga lo tau sendiri di mana titik salah dan benarnya."

***

Suara bel pintu mengalihkan Jessica yang sedang duduk di sofa sambil mencari pekerjaan lewat ponsel baru pemberian Brahms yang harganya entah berapa. Ia meninggalkan Sea yang asyik bermain mobil-mobilan untuk membuka pintu memeriksa siapa yang datang. Matanya melotot akibat kedatangan enam pekerja apartemen dan seorang perempuan berpakaian formal berada di depan pintu.

Suddenly TrappedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang