[8] When We're Sober

1K 77 0
                                    

NEW VERSION

🖤

Baru kali ini Brahms merasa ia menjadi mafia terburuk yang pernah ada dalam keturunan Carter. Ia menembak banyak orang yang menyerangnya tanpa pengampunan, tetapi ia tidak menyadari ada yang menembak perutnya dari jauh. Tubuh kekar itu jatuh, mungkin seperti inilah ibunya tertembak. Rasa pusing dan nyeri menyerang sampai-sampai jalanan luas yang ia tiduri berputar, beralih menjadi ruangan hangat dengan TV yang menyala serta seorang bayi laki-laki yang duduk di atas perutnya.

"Papa...?"

Ia menyeka keringat yang bercucuran. Jadi ia hanya mimpi buruk? Lalu apa tadi? PAPA? Sebenarnya ia tidur berapa tahun hingga bayi yang dikandung Jessica sudah sebesar ini?!

"Astaga, ngapain kamu duduk di perut dia?!" omel Jessica pada bayi itu.

Brahms mendongak sedikit. Perut Jessica sudah mulai menonjol hanya dibalut handuk yang melingkar di ketiaknya. "Apa kau menipuku?"

"Nipu apa maksud lo?"

"Apa kau menggunakan aku sebagai sasaran karena tidak ada yang bertanggung jawab atas kehamilanmu?"

Emosi Jessica seketika naik, "Mau lo apa sih?!"

"Seharusnya aku yang bertanya apa maumu."

"Gue udah bilang berulang kali kalo gue gak minta pertanggungjawaban lo meskipun yang gue kandung adalah anak lo!" Air mata Jessica mengalir, napasnya tersengal-sengal meluapkan amarah.

Raut Brahms berubah khawatir saat tubuh Jessica terhuyung. Sialan, tidak seharusnya ia berkata begitu. "Aku ingin kau menjelaskan semuanya padaku." ucapnya dengan nada lebih lembut.

"Mending lo pergi. Gue perlu istirahat," balasnya lelah.

"Kau akan kuizinkan tinggal—"

"Gue masih punya tempat tinggal. Lo gak perlu kasih apapun." Jessica memotong. Ia benar-benar lelah membicarakan hal yang seharusnya tidak perlu banyak dibahas. Lagipula dirinya masih bisa mengurus diri sendiri jika Brahms tidak datang seperti detik ini.

"Aku minta maaf soal tadi." Akhirnya Brahms mengambil sikap untuk mengalah sebelum diusir paksa.

Jessica menghela napas dalam-dalam. Kehamilannya yang semakin membesar memang membuatnya mudah marah jika terganggu bahkan sedikit saja. "Orang kayak lo pasti udah tau latar belakang kalangan gue. Gue gak perlu buang-buang tenaga."

"Aku memang sudah punya segala data tentangmu, tapi belum membacanya. Lebih baik mendengar secara langsung bukan?"

Sudah berapa kali Jessica terpaksa menghadap Brahms? Ia bahkan duduk lagi di tempat sebelumnya, "Apa yang ingin lo ketahui?"

"Tell me about your parents first."

"Gue gak punya orangtua."

Jawaban Jessica sedikit mengganggu pikiran Brahms, "Kau kabur kemari?"

"Enggak. Gue ke sini untuk kerja."

"Kau keberatan jika aku ingin tau tentang orangtuamu?"

Jessica sedikit terkejut mafia seperti Brahms memiliki setitik etika dalam berbicara. "Nope." jawabnya seraya merapatkan handuknya. "Ibu gue meninggal karena kanker di umur gue 12 tahun sedangkan ayah gue bunuh diri setelah perusahaannya bangkrut. Dan sebelum dia nikah sama ibu tiri gue, dia kasih semua yang gue mau demi dapet persetujuan. Gue gak pernah satu pikiran sama dia." Ia tersenyum miris, "Hidup gue gak ada yang spesial setelah ibu gue meninggal."

Jadi begitu. Ternyata berita Louis Agler Aldevaro, ayah dari suami Claretta, yang membangkrutkan perusahaan ayah Jessica benar faktanya. Tapi seperti Jessica juga tidak akur dengan sang ayah dari cerita yang dijabarkan cewek itu. Pantas saja ia terlihat tidak suka ketika Brahms memanggilnya dengan marga.

"Kau punya anggota keluarga lain?" Brahms merasa ia perlu tau setelah saudara Jessica dibunuh olehnya karena pembully-an yang terjadi pada Clare dulu.

"Punya, cuma gue gak tau kabar mereka. Mereka juga gak akan peduli soal gue."

"Lalu bayi ini— anakmu?"

Oh Tuhan, sekarang ia paham betul arti 'menipu' dari mulut Brahms.

"He's my only hope to live in this cruel world." Jessica menatap bayi yang asyik memainkan kancing kemeja putih Brahms. "Orangtuanya kecelakaan mobil. Gue sebagai tetangga mereka adopsi dia waktu masih satu tahun di panti asuhan."

"Kau menyusahkan hidupmu yang sudah susah." kata Brahms sarkas. Tapi itu memang benar. Kenapa repot-repot mengurus makhluk lain jika diri sendiri kesulitan?

"Karena hidup gue gak sendirian dengan adanya dia."

Ada kebahagiaan besar yang terselip dalam seulas senyum Jessica. Tampak sangat jelas ia menyayangi bayi tampan dan lucu ini.

"Aku kira bayi ini benar-benar anakmu." Brahms memposisikan dirinya duduk, membuat bayi itu terjungkal tapi tetap tertawa riang senang ada orang baru yang mengajaknya bermain. Padahal Brahms tidak terbiasa berdekatan dengan bayi apalagi memegangnya.

Sontak Jessica melotot lalu meraih bayinya secepat kilat menjauh dari Brahms. Anehnya bayi itu justru merengek meronta-ronta ingin bebas.

"Papa! Papapa!"

"Dia bukan papa kamu." Jessica melirik Brahms yang merokok lagi bagai seseorang yang sedang banyak pikiran. Kamu gak lihat kelakuannya kayak gitu? Batinnya kesal.

Dengan sigap ia membawa bayinya ke kamar segera menidurkannya. Setelah itu ia mengenakan piyama polos coklat mengecek apa Brahms sudah pulang atau belum. Dan jawabannya adalah belum.

Brahms tengah menonton TV yang menunjukkan kemesraan Leo dan Clare di Moskow beberapa waktu lalu. Wajah Jessica seketika masam mendengar pembaca acara tersebut mengulang kata great couple. Ia mengambil remote lalu mematikan TV. Tapi Brahms tidak protes toh dirinya juga terbakar.

"Lo gak pulang?"

"Kau lupa ini tempat tinggalku sekarang?"

Jessica mendengus sebal, "Emang lo gak bisa beli kamar yang lain apa?"

"Tidak."

Ugh, ia benar-benar ingin memukul wajahnya yang menyebalkan tapi tampan itu.

"Apartemen di LA banyak banget."

"Apartemen ini yang paling dekat dengan perusahaanku."

"Di sebelah apartemen ini masih ada apartemen."

"Aku berhak memilih di mana aku ingin tinggal."

"Dan gue juga berhak ngusir lo."

"Sayangnya tempat ini sudah jadi milikku."

Sepertinya sudah takdir Jessica tidak akan pernah bisa menang jika berdebat dengan setan ini. Walaupun sebenarnya Brahms tidak benar-benar membeli ruangan ini karena yang ingin ia lakukan adalah membawa betina itu tinggal bersamanya di penthouse.

"Gue mau tidur."

"Lalu kenapa kau masih di sini?"

"Gue gak bisa tidur kalo lo masih ada di sini."

"Aku tidak akan meniduri orang yang sedang tidur."

"Gue tau lo cuma nidurin orang yang lagi mabuk. Dasar tukang cari kesempatan."

Brahms mendelik tak suka oleh perkataan Jessica. Itu sungguh menyinggungnya.

"Apa?" tanya Jessica menantang kala Brahms berdiri mendekat hingga jarak mereka tersisa sejengkal saja.

Ia tak bisa bohong jantungnya berdebar melihat wajah Brahms sedekat ini. Hidung mancung, bibir seksi, rahang tegas, dan jangan lupakan mata abu tajam yang menghipnotisnya untuk diam mematung.

"I'll fuck you when we're sober later." geramnya rendah namun terdapat nada marah yang mengambang.

Seperti hobi, Jessica langsung membanting pintu kamarnya sambil memohon pada Tuhan agar setan ini cepat-cepat pergi.

🖤

Suddenly TrappedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang