[20] Emptiness

724 54 12
                                    

🖤

Dulu saat Clare tinggal bersamanya, ia tetap berpakaian ciri khas keluarga. Yaitu setelan jeans dan jaket kulit hitam. Tapi seiring berjalan waktu Brahms membiasakan diri dengan jas sesuai apa yang Rissa sarankan. Jadi pertanyaan Jessica di akhir sarapan mereka cukup sulit dijawab.

"Kenapa kau tidak pakai dasi?"

Brahms menjauhkan kursi dari Sea untuk memantik rokok, "Aku tidak terbiasa."

Tidak mungkin sekali ia memberitahu bahwa Rissa-lah yang selalu memakaikan dasinya saat ada pertemuan penting. Brahms menyuruh Rissa yang membeli banyak dasi tapi tidak pernah menyentuhnya sama sekali.

"Tunggu. Biar aku ambilkan dasimu."

"Kau keras kepala."

"Kau juga sama, Brahms. Jadi diamlah dan tunggu aku sebentar." Jessica melangkah ke kamar cukup lama dan kembali memegangi dasi biru dongker yang cocok dipakai Brahms. "Berdiri, aku akan membantumu."

"Aku sedang dalam posisi nyaman."

"Ayolah, Brahms, menurut padaku sekaliiiii saja." mohon Jessica.

Tanpa aba-aba Brahms menarik pelan tubuh Jessica ke pangkuan. Paha cewek itu yang tadi tertutup gaun tidur kini terekspos bebas. "Kau saja yang duduk dan pakaikan aku dasi."

Mau tak mau ia mengalah daripada berdebat. Sebab sampai mulut berbusa pun Brahms selalu menang. Sejenak ia terpaku oleh penampilan Brahms setelah memakaikan dasinya. Malaikat maut ini terlalu tampan dan sempurna.

"Aku sudah memasang kamera diberbagai sudut ruangan. Suaramu juga akan terdengar."

"Untuk apa lagi kau melakukan?"

"Mengawasimu dan Sea."

"Kenapa harus—"

"Kau banyak bertanya. Sekarang aku harus pergi bekerja."

Jessica memutar bola mata malas. Menyebalkan sekali, pikirnya. "Jangan pulang larut. Sea pasti merengek merindukanmu."

"Lalu kau dan Sky?" Tatapan dalam itu lagi-lagi mendebarkan jantung.

"Y-Ya, itu termasuk." jawabnya gugup.

Brahms tersenyum tipis lalu memberi ciuman singkat di bibirnya.

"Mulutmu bau rokok, Brahms."

"Tapi kau menyukainya."

"Huft, pembahasan vulgar ini tidak akan selesai. Sebaiknya kau berangkat."

"Kapan aku bisa berangkat jika kau terus di atasku?"

Jessica menepuk jidat, bodoh sekali kau! Dengan wajah merah padam ia turun dari pangkuan Brahms.

"See you later, boy."

"Si ya!" Sea melambai-lambai semangat, menyadarkan Jessica.

Pasti ayah bayi itu menjanjikan sesuatu.

***

"Hey bitch."

Rissa terbahak ketika Brahms masuk ke ruang kerjanya, "Hey jerk."

"Kau tidak tersinggung?"

"Tidak, karena aku tidak merasa begitu. Kalau kau?"

"Aku memang brengsek, kau tahu itu." Brahms duduk santai di kursi cewek itu, menatap jalanan di pagi hari dengan tenang. "Gadisku... bagaimana?"

"Clare dan bayinya selalu baik walaupun dia gak bisa tutup muka sedihnya waktu gue sebut nama lo di telepon. Gue rasa dia kangen sama lo."

Brahms menoleh kaget, "Kenapa kau menelponnya?"

Suddenly TrappedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang