[23] Aunty

646 47 2
                                    

🖤

Keturunan Carter memang mafia berbeda dari mafia yang lain. Terbiasa dalam bahaya bahkan menjadikan tubuh sebagai tameng terdepan demi menjaga seseorang yang berarti sudah sering Brahms lakukan. Lily, Jayden, Claretta. Dulu hanya mereka. Tapi sekarang keadaan berbeda. Lily dan Jayden saling melindungi. Claretta? Ia belum bertanya kabar terbaru dari anak buahnya. Karena sekarang hidupnya sibuk menjaga Jessica, Sea, dan Sky.

Ia menghela napas panjang. Satu bulan tinggal bersama sudah cukup Brahms pahami jika cewek itu bukanlah orang yang mudah dikalahkan siapapun, termasuk dirinya.

Mereka sesama berdarah Carter. Saling melawan hanya berujung keduanya hidup atau keduanya mati.

Sejauh ini Brahms masih tak mengerti rasa tertarik, sayang, atau cintanya menjurus pada Claretta atau Jessica. Lebih tepatnya ia menghindari semua hal itu. Karena memikirkannya membuat Brahms dilanda stres.

Kadang ia berpikir apa perasaan Clare padanya masih sama meski sudah menikah? Yah, itu memang terdengar tidak tau malu. Bahkan ditelinganya itu terdengar idiot. Sudah jelas Clare malah menarik pelatuk dan mengucap kata-kata kotor sebelum ia membuka mulut jika tau dirinya memiliki anak bersama Jessica.

"Kubur ditempat yang layak jika dia benar-benar mati."

Brahms menoleh ke arah Adrian yang masuk tiba-tiba membahas kematian.

"Ini gila."

"Ada masalah apa lagi?" tanya Brahms jengah dengan setiap masalah yang terus berdatangan padahal masalah pribadinya belum ada solusinya sama sekali.

Adrian merebahkan tubuh di sofa sedangkan Brahms merokok sambil menunggu sobatnya menjawab. "Orang yang gue suruh untuk awasi Clare mati kemarin. Tanpa tangan."

Deg.

"How it possible?"

"Belum ada bukti. Gue udah minta pihak kepolisian di sana pagi ini untuk cari bukti. Apa lo punya daftar orang yang lo curigai?"

"Aku bahkan tidak menyangka anak buahku akan mati mengenaskan di sana."

"Mati mengenaskan? Siapa?"

Shit. Brahms hampir mengumpat di depan Jessica.

"Gue harus pergi." ucap Adrian kemudian melenggang pergi tak tanggung jawab.

"Kerja bagus, brengsek." geram Brahms.

Jessica menopang tubuhnya di meja menggunakan kedua telapak tangan. "Katakan padaku siapa yang mati."

"Anak buahku."

"Tidak masuk akal salah satu dari mereka mati dan tak ada bukti kalau mereka sering berkumpul, Brahms."

"Dia dibunuh saat sendirian."

"In Los Angeles?"

"No, in Madrid."

"Kau tidak punya urusan di sana. Aku membaca jadwalmu dengan baik."

"Aku sedang menyelidiki seseorang."

Jessica menyipitkan mata, "Apa kau mengawasi Leo tanpa sepengetahuanku?"

Ingin sekali Brahms menjitak kepala Jessica.

"Aku minta kau berhenti, Brahms. Aku baik-baik saja denganmu."

Brahms mencium cepat kening Jessica hingga sedikit terhuyung, lalu pergi menghindari pertanyaan lain yang hendak dilontarkan perempuan hamil itu.

***

Kecemasan melanda pikiran Leo dan Clare akhir-akhir ini. Leo khawatir keselamatan istri dan bayinya, sementara Clare takut melahirkan akan sesakit apa. Yang paling menyebalkan adalah di saat Clare berdoa, Leo hanya bisa menciumi perutnya sambil berkata, "Jangan merepotkan mommy. Lahir dengan selamat, okay? Papa akan memberikan segalanya untukmu.". Doa yang diucap malah mengingatkan Clare pada Brahms Rayan Carter entah kenapa.

Suddenly TrappedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang