09|First Lunch

177 23 3
                                    

Kondisi apartemen Jeno pagi ini terlihat sangat berantakan, bagai tak diurus selama bertahun-tahun. Setumpuk piring dan gelas kotor pada kitchen sink belum sempat ia bersihkan. Lembaran kertas sketsa berserakan di atas lantai, laptop dan Ipad sengaja ia biarkan menyala, tiga kaleng kopi dan dua botol air mineral kosong berceceran di atas meja.

Kondisi pemilik unit apartemen itu juga tak kalah kacau. Terlebih, dengan posisinya yang sedang duduk lesehan dan hanya berbalutkan sweatpants dan kaos hitam oversize. Tampilan Jeno saat ini sangat berbanding jauh dengan tampilannya saat berada di kantor. Rambut-rambut halus pada wajahnya mulai tumbuh memanjang, wajahnya terlihat lesu, dan kantung matanya semakin menghitam.

Beriringan dengan helaan napas panjang yang keluar dari mulutnya, Jeno melepas kacamata yang bertengger di hidungnya, lalu melemparnya ke sembarang arah. Seharusnya, kemarin malam ia menyelesaikan sketsa kedua untuk project-nya. Namun, ia malah tertidur pulas dan baru terjaga tadi subuh. Alhasil, ia harus memaksa diri untuk berfokus menyelesaikan sketsa sampai pagi ini. Ah, lebih tepatnya pagi menjelang siang.

Cukup lama pria itu termenung menatap kosong layar laptop, hingga suara nyaring ponsel membuat kesadarannya tertarik kembali ke permukaan. Ia raih benda persegi panjang itu dengan malas.

"Berisik banget!" Jeno memaki benda mati yang berada di genggamannya dan melemparnya ke atas sofa.

Pria itu memejamkan mata rapat ketika denyut nyeri menyerang kepalanya. Pasti ini efek dari begadang dan juga rasa frustasi yang menumpuk karena tak kunjung mendapatkan ide untuk melanjutkan sketsanya. Mark Lee, ketua timnya, memberi target untuk merancang tiga sketsa berbeda. Belum sampai memenuhi target tersebut, Jeno sudah mulai kehabisan ide.

Lima menit telah berlalu dan alarm ponselnya kembali berdering nyaring. Dengan sangat terpaksa, ia kembali meraih ponsel itu dan melihat agenda hariannya. Kedua bola matanya nyaris lepas dari tempatnya saat membaca poin pertama daftar agenda di hari Sabtu itu.

'Have a lunch with her.'

Untuk sesaat, Jeno diam menegang bagaikan tersengat aliran listrik yang menjalar pada seluruh tubuhnya. Siang ini, ia berjanji mengajak Charis untuk makan siang bersama. Bagaimana bisa ia lupa dengan hal itu? Bodoh sekali, Lee Jeno. Berita buruk lainnya, ia hanya memiliki sisa waktu satu jam untuk bersiap.

"Argh!! Stupid stupid!" umpat Jeno pada dirinya sendiri. Segera ia berlari terbirit menuju kamar mandi untuk membasuh diri, bercukur, dan tentunya berdandan. Well, semoga apartemennya tidak semakin berantakan karena ulah cerobohnya.

***

“Hai, Jen. Udah nunggu lama?”

Jeno mengulum senyum begitu menangkap sosok wanita di sampingnya sedang memposisikan diri untuk memasang seat belt.

“Nggak lama kok, Cha.” Pandangan Jeno tak lepas dari wanita di samping kanannya yang hari ini tampak lebih anggun. Selama ini, ia terbiasa melihat Charis dengan gaya pakaian casual dan semi-formal. Siang itu, Charis memilih untuk mengenakan blouse warna pastel yang dipadu dengan midi skirt berwarna senada, dilengkapi dengan coat coklat, dan rambut yang tergerai bebas dengan style bergelombang pada bagian bawahnya.

“Jadi, kita mau makan dimana?"

Jeno yang tertangkap basah sedang mengunci pandangan pada Charis, buru-buru mengalihkan kepala dan berdeham keras.

“Nanti kamu juga bakal tau kok.”

“Aku takut salah kostum. Aku takut kalau outfit-ku terlalu sederhana,” sahut Charis sambil menundukkan kepala, menatap pakaiannya.

QUERENCIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang