16|After the Storm

134 11 1
                                    

Tak seperti hari kemarin, cahaya matahari pagi itu nampak bersinar cukup terang dan memberikan sedikit kehangatan di tengah dinginnya kota Seoul.

Dari sudut ruang kerjanya, Jaemin dapat melihat rona bahagia terpancar jelas pada wajah anak-anak dengan seragam sekolah berwarna kuning cerah sedang berjalan menyebrangi zebra cross. Mereka terlihat semangat menyambut munculnya sang mentari selepas badai menerjang semalam suntuk.

Jaemin pun juga merasakan antusias yang luar biasa karena hari yang ia tunggu-tunggu semakin dekat. Ia memejamkan mata sejenak, menikmati lantunan musik klasik karya Frédéric Chopin yang berkumandang melalui turntable, ditemani dengan secangkir kopi hangat pada genggaman tangan kanannya.

Rasa antusias dan gugup bercampur menjadi satu, memenuhi rongga dada Jaemin hingga membuatnya kembali membuka mata dan tersenyum tipis.

"I can't wait," gumamnya lirih, sambil menghirup harum aroma kopi hingga kepulan uap menempel pada lensa kacamatanya.

Sesaat ia hendak menyesap minumannya, pintu ruang itu tiba-tiba terbuka dan disusul dengan lengkingan suara sopran dari wanita yang sangat ia kenal.

"Na Jaemin, I'm coming!!"

Jaemin nyaris tersedak begitu dikagetkan suara Charis yang memekakkan telinga. Ia segera menaruh cangkirnya ke atas meja dan berjalan mendekat ke arah  sang tamu dengan tatapan penuh tanya.

Tak biasanya Charis berkunjung ke kantornya sepagi ini, terlebih kondisi wanita itu yang terlihat sangat berbeda dari pertemuan terakhir mereka. Wajahnya nampak berseri-seri, tidak tersirat kesedihan dan rasa lelah pada raut wajah sang puan.

“Tumben datang sepagi ini?” tanya Jaemin seraya mengambil posisi duduk.

Charis tak langsung menyahut dan justru memberikan senyuman lebar hingga kedua matanya menyipit. Hal itu tentu membuat Jaemin sedikit bergidik ngeri melihat respon tak biasa dari sang lawan bicara.

“Kepalamu barusan kebentur tiang, ya?”

“He he … mau minta tolong,” ujar Charis dengan tatapan memohon.

Jaemin berdeham singkat, lalu berdiri dan melangkahkan kaki ke meja kerjanya yang terletak di sisi kanan ruangan.

“Minta tolong apa?” tanyanya tanpa menoleh. Ia raih kembali cangkir berisikan kopi yang sempat ia anggurkan, dan menyesapnya secara perlahan.

“Mau nitip jas punya Jeno,” sahut Charis sembari meletakkan sebuah paper bag putih di atas meja.

Hangatnya kopi yang menjalar melewati tenggorokan hilang begitu saja saat nama Jeno terucap dari bibir mungil Charis. Sontak hal itu membuat alis Jaemin berkerut samar. Tak ingin ambil pusing menerka sesuatu yang tidak pasti, ia letakkan kembali cangkir itu ke atas meja, lalu memutar tubuhnya penuh menghadap Charis.

"Kenapa nggak kamu balikin sendiri?"

Tangan kiri Jaemin mengambil paper bag itu dari atas meja untuk dipindahkan ke sisi samping nakas.

“Aku sibuk, Na. Nggak ada waktu buat balikin ke dia.”

“Tapi kamu ada waktu buat mampir ke sini.”

Charis bungkam seketika mendapat jawaban tak terduga dari sang lawan bicara. Buru-buru ia mengalihkan mata ke arah lain demi menghindar dari tatapan penasaran Na Jaemin.

“Udah gelas ke berapa?” tanya Charis mengalihkan topik pembicaraan.

Jaemin pun hanya memiringkan kepala dan mengangkat alis tak mengerti.

“Itu,” Charis menunjuk cangkir yang ada di atas meja kerja, “udah minum berapa banyak?”

Bukannya menjawab, Jaemin justru terkikik pelan dan menirukan mimik wajah Charis yang nampak serius.

QUERENCIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang