⚠️ tw // trauma, family issue, emotional abuse ⚠️Jeno pikir, membatasi komunikasi dan interaksi dengan kedua orang tuanya dapat membuat dirinya perlahan berdamai dengan masa lalu. Namun, nyatanya ia masih terjebak dalam lubang gelap nan menyesakkan itu, sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
Jeno tidak pernah mengira momen singkat bersama sang Ibu dapat membuat dirinya kembali terguncang hebat. Meski hanya bersitatap dengan manik indah itu untuk sepersekian detik, dapat memancing kepingan memori kelam yang berusaha ia pendam kembali muncul ke permukaan dan memenuhi kepalanya. Suara teriakan dan sekelebat ekspresi muram kedua orang tuanya berhasil menguasai benak Jeno.
Sekuat tenaga, Jeno menahan air mata agar tidak lolos dari tempatnya berada. Ia semakin mengeraskan rahang dan memegang kepala kala pening mendadak hadir bersamaan dengan napas yang mulai tersengal tak beraturan. Nyatanya, helaan napas dalam yang terapisnya ajarkan tak cukup meredakan gejolak emosi yang semakin membuatnya serasa tewas.
Mencoba mengalihkan rasa sakit dengan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tak jua mengurangi kecemasan dan kegelisahan dalam dirinya. Hingga sepasang netranya terpaku sesaat pada botol berwarna putih yang tak pernah ia konsumsi lagi selama enam bulan terakhir. Dengan tangan bergetar dan tanpa pertimbangan matang, Jeno meraih botol itu dan langsung menenggak dua butir obat penenang yang diresepkan untuknya. Ia memejamkan mata sejenak, berusaha mengatur napas yang terasa masih berat, hingga suara ketukan pintu mendistraksi dirinya yang masih diselimuti perasaan kalut.
"Jen ..." Renjun membuka pintu ruang kerja Jeno, dan berdiri di ambang pintu, "Jen, you okay?"
"I'm ... fine," jawab Jeno dengan suara serak dan bergetar.
Mendapati sahabatnya mengucap dusta membuat diri Renjun semakin tak tenang. Tentu dirinya merasa gelisah selepas menyaksikan kehadiran Jeno yang terlihat berlari ke ruangannya saat jam istirahat berakhir dan mengurung diri sampai satu jam lebih dalam keheningan.
Menghela napas pelan, Renjun berjalan mendekat ke arah Jeno, lalu menepuk bahu sahabatnya sambil mengucap, "Don't hide your feelings, Jen. It's okay to not be okay."
Jeno masih bungkam, ia hanya mampu mengangguk-anggukkan kepala.
"Anyway, satu jam lagi kita akan ada meeting. Ada hal penting yang direksi ingin sampaikan," Renjun menjeda ucapannya, ia nampak berpikir sejenak sebelum akhirnya kembali bersuara, "Mark nggak mewajibkan semua ikut. Kamu tenangin diri dulu aja, gapapa."
Jeno menggeleng pelan, ia tetap harus hadir ke pertemuan penting itu. Masalah pribadi tidak seharusnya menjadi penghalang untuk tetap bersikap profesional.
"Aku bakal hadir, Njun. Thank you buat infonya."
"Good then. Aku tunggu di ruang meeting, ya."
Selepas Renjun keluar dari ruangannya, Jeno meneguk air mineral dalam botol hingga tandas, lalu mengusap wajahnya kasar. Suara berisik dalam kepalanya tak juga kunjung reda, seruan nada tinggi yang orang tuanya lontarkan masih membekas dengan apik dalam memorinya. Jeno sangat membenci dirinya yang terlihat payah dan mengenaskan. Ia tidak boleh terlihat lemah di hadapan orang lain, apapun yang terjadi ia harus segera kembali menjadi Jeno yang tangguh.
Sisa kecemasan yang tak berujung itu akhirnya lenyap saat suara denting halus ponsel menginterupsi pendengarannya. Satu notifikasi pesan sederhana yang membuat senyum tipis terlukis pada wajah pucat Jeno.
Charis
Jen, are you okay?
Just lemme know, if you need someone to talk to and I'll be there.
KAMU SEDANG MEMBACA
QUERENCIA
Fanfiction[Lee Jeno x OC] "It took me five years to meet another guy." "I think you are worth my fight." Lee Jeno, pria yang berprofesi sebagai automotive designer, dikenal sebagai sosok yang gemar berganti-ganti pasangan. Memang benar, pria bermata bulan sab...