22|Stay True to Yourself

118 11 0
                                    

Waktu menunjukkan hampir pukul sepuluh malam saat Jeno tiba di unit apartemen milik Jena. Kedatangan Jeno disambut suasana hening dan gelap yang mendominasi ruangan. Hampir seluruh lampu sudah dipadamkan, kecuali yang terdapat pada ruang makan dekat dapur. Lampu gantung dengan tingkat keterangan yang lembut, tidak terlalu terang dan tidak terlalu redup, menjadi satu-satunya sumber penerangan bagi dua orang yang sedang duduk berhadapan tanpa ada sepatah kata terucap di antara mereka.

Berbalutkan piyama hitam dan rambut tergerai bebas, Jena menyandarkan punggungnya di kursi dengan kedua mata menyipit dan dahi berkerut. Meski kantuk tengah menyerangnya, tapi ia masih bisa melihat dengan jelas gerak-gerik dan ekspresi wajah Jeno yang terlihat berbeda dari biasanya.

Jeno nampak seperti orang linglung, bahkan sampai mengabaikan presensi Jena yang sedang duduk tepat di depannya. Pandangannya menerawang ke jendela, menatap lekat langit malam di luar sana. Seolah hamparan gelap itu sedang memutar kembali memorinya, hingga menciptakan sebuah lengkung tipis pada wajah stoic-nya.

Jena melirik singkat jam dinding, lalu kembali memusatkan atensinya pada Jeno yang masih betah melamun. Pasti ada suatu hal yang mengusik pikiran Jeno, batinnya.

"Jen ... "

Butuh tiga detik bagi Jeno untuk sadar dan menoleh ke arah Jena.

"Is something bothering your mind?"

Jeno masih terdiam, salah satu alisnya terangkat sebagai tanda bahwa ia tidak paham maksud pertanyaan yang Jena lontarkan.

"Dari tadi kamu spacing out, terus tiba-tiba senyum sendiri," Jena menjeda, guna merubah posisi duduknya menjadi lebih tegap, "kamu kerasukan, ya?" tanyanya dengan nada suara ragu.

Bukannya memberi tanggapan, Jeno justru terbahak mendengar prasangka aneh itu.

"Kok malah ketawa, sih?!" Satu pukulan ringan melayang tepat pada lengan kiri Jeno dan berhasil membuat tawanya sedikit mereda.

"Kan ... kebiasaan suka mukul," aduh Jeno sembari menyeka bulir bening pada kedua sudut matanya. "Kamu keseringan nonton film horror, ya?" lanjutnya meledek.

Jena mendecak dan memutar kedua bola matanya malas. Ia bangkit dari tempatnya, lalu melenggang ke dapur untuk mengambil dua kaleng soda dingin dari dalam kulkas.

"Aku perlu kasih kamu cermin besar, deh." Jena memutar penuh tubuhnya dan berjalan kembali ke arah meja makan. "Biar kamu sadar sama ekspresi wajahmu selama duduk di situ," lanjutnya sambil mengangsurkan satu kaleng soda pada Jeno.

"Memangnya kenapa?" tanya Jeno sambil membuka kaleng soda miliknya, lalu meneguk sedikit cairan berwarna bening itu.

"Kamu aneh banget! Tingkah dan ekspresi wajahmu nggak menggambarkan sosok Lee Jeno seperti biasanya."

"Hah?" Jeno refleks meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja, lalu bercermin pada layar hitam itu sambil menoleh ke sisi kanan dan kiri. "Nggak ada yang aneh, masih ganteng seperti biasa," sahutnya penuh percaya diri seraya mengedikkan bahu tak acuh.

Jena mendesah panjang. "Whatever!" jawabnya malas.

Ia lelah menanggapi sifat jahil Jeno yang tiada habisnya. Kendati begitu, ia tidak mungkin melewatkan rasa penasarannya berlalu begitu saja.

"Something happened, right?" Jena mengubah posisi duduknya, ia mencondongkan tubuh ke depan dan menopang dagu dengan sebelah tangan.

Jeno tak kunjung menjawab, ia masih bungkam dan menghindar dari tatapan Jena yang menyiratkan rasa penuh penasaran. Jarinya mengetuk-ngetuk meja, sementara dalam sunyi itu ia masih bergumul dengan perasaannya yang sedikit kacau.

QUERENCIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang