17|The Moment of Life

153 11 0
                                    

Sudah hampir tiga puluh menit berlalu, Jeno masih termenung menatap kosong layar ponselnya. Tidak ada tanda-tanda akan muncul sebuah notifikasi pesan pada benda persegi panjang itu. Lagi dan lagi, ia mengembuskan napas gusar dan menyandarkan punggung ke sandaran sofa.

Suasana di ruang kerjanya nampak begitu tenang, hanya terdengar sayup-sayup gemericik hujan, sangat kontras dengan isi kepalanya yang sedang berkecamuk.

Seharusnya Jeno merasa tenang setelah mengetahui jawaban atas rasa penasarannya akan hubungan yang terjalin antara Jaemin dan Charis. Seharusnya ia turut berbahagia karena sahabatnya telah menemukan sosok wanita yang berharga dalam hidupnya.

Namun, tidak dapat dipungkiri, ada suatu hal yang mengganjal dalam benaknya. Suatu hal yang terus menerus mengusik ketenangan jiwa dan pikirannya. Haruskah Jeno menyerah saat dirinya belum memulai perjuangan yang sesungguhnya?

Satu hal yang ia tahu, segala hal sah dilakukan untuk memperjuangkan cintanya. Bersikap egois akankah membuatnya menjadi manusia yang buruk?

"Lagi mikirin apa?"

Suara yang berasal dari arah pintu berhasil menarik alam sadar Jeno kembali ke permukaan.

Ia mengerjapkan mata, lalu mendapati Renjun sudah duduk santai berhadapan dengannya.

"Udah lama di sini?"

Jeno heran dengan kedatangan rekan kerjanya yang selalu muncul secara tiba-tiba tanpa adanya pemberitahuan, bahkan ia tidak mendengar suara pintu dibuka dan langkah kaki mendekat.

"Aku kok nggak sadar, ya" lanjutnya diakhiri dengan kekehan canggung.

"Ya ... baru lima menit." Renjun berdecak singkat, lalu melanjutkan, "Kamu lagi ada masalah, ya?"

Sejenak, Jeno ragu menjawab. Ia tersenyum singkat dan menggelengkan kepala pelan.

"It's not a big deal."

"Bener bukan masalah besar?" desak Renjun sambil mengangkat alisnya tajam.

"Akhir-akhir ini kamu sering hilang fokus, Jen. Emosimu juga lagi nggak stabil, pekerjaanmu terbengkalai. Masih mau mengelak kalau hal yang kamu pikirin itu bukan masalah besar?" jelas Renjun tegas.

Jeno tidak menjawab. Ia tertegun dan menunduk menatap ujung sepatunya dengan pandangan kosong.

"Aku bahkan tidak tahu apa yang sedang aku pikirkan dan rasakan saat ini. I'm not familiar with these emotions. Rasanya menyesakkan dan juga membuatku frustasi," keluh Jeno dengan kepala masih tertunduk.

Tanpa Jeno sadari, eksistensi Charis memberikan pengaruh besar dalam hidupnya. Tidak ada pesan darinya selama dua minggu terakhir cukup membuatnya uring-uringan dan kecewa pada dirinya sendiri.

Seandainya ia bisa memutar kembali waktu, maka ia akan mengatakan semua hal dengan jujur kepada Charis. Sehingga wanita itu tidak menjaga jarak dengannya tanpa penjelasan apapun.

"Tell me. Jangan harap orang lain bisa mengerti apa yang kamu rasakan kalau kamu sendiri enggan menceritakannya. You need to talk to be understood."

Renjun menghela napas dalam, lalu mengalihkan pandang ke arah jendela berkaca besar yang menjadi sekat antara ruang kerja Jeno dan ruang kerja para juniornya.

"Bukannya aku ingin tahu atau peduli dengan apa yang kamu alami. Tapi ... yah, aku hanya merasa kasihan dengan para junior yang terkena lampiasan emosimu yang tidak stabil."

Jeno tersenyum samar, mendengar celotehan sahabatnya yang terkesan cuek, tapi sebenarnya sangat peduli akan kondisinya. Ya, memang begitu sifat seorang Renjun, terlihat cuek namun berhati hangat.

QUERENCIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang