19|Unexpected Meeting

148 11 0
                                    

Meski hubungan antara Charis dan Jeno telah berangsur membaik, tak serta merta membuat sang wanita merasa tenang. Untuk beberapa waktu, ia sempat dilanda kecemasan atas keputusannya yang terkesan impulsif. Charis sadar bahwa dirinya terlalu terbawa suasana dan menjadi lebih emosional hanya karena tatapan sendu dan sentuhan lembut seorang Lee Jeno. Namun, di saat yang bersamaan, Charis dapat melihat keputusasaan dan merasakan ketulusan Jeno yang ditujukan padanya.

Pada saat seperti inilah dia sangat membenci salah satu kebiasaan buruknya, overthinking.

Setiap kali Charis merasa kewalahan dengan suara berisik pada kepalanya, rentetan kalimat yang Jonathan ucapkan acap kali berhasil membuatnya merasa tenang.

"Dek, kamu tau 'kan kalau pemikiran yang berlebih itu mentally draining?"

"Manusia cenderung suka merancang skenario dan simulasi kehidupan di otak. Padahal kita nggak tau seperti apa nanti kehidupan di masa depan. We suffer in our imagination more than we do in real life."

Entah mengapa, kalimat panjang itu sangat membekas dalam benak Charis hingga membuatnya sadar bahwa tidak ada salahnya untuk memilih mengikuti kata hati yang membisikkan suara untuk mencoba merajut kembali hubungan pertemanan dengan Lee Jeno.

Dan di sinilah Charis berada, duduk berhadapan dengan pria bermarga Lee di sebuah restoran tradisional khas Korea Selatan yang berlokasi di salah satu jalan kecil daerah Itaewon.

Suasana makan siang kali ini tidak sehangat biasanya, keheningan dan rasa canggung lebih mendominasi, sama persis seperti awal pertemuan mereka. Namun, sepertinya hanya Jeno yang merasa gelisah, sangat kontras dengan Charis yang nampak lebih tenang.

Sejujurnya, baru kali ini Jeno dilanda rasa gugup sebesar ini. Apabila diberikan kesempatan untuk memilih, ia lebih bersedia untuk presentasi di hadapan client daripada berbincang empat mata dengan wanita yang telah lama tidak ia temui.

Memejamkan mata sejenak sembari mengembuskan napas berulang kali, berharap dapat mengurangi rasa gugup dan gelisah yang mulai melumpuhkan syaraf tubuhnya. Sungguh, Jeno tidak familiar dengan perasaan dan emosi yang meluap-luap dalam dirinya.

Ia masih terlalu takut untuk menyimpulkan jenis perasaan seperti apa yang ia miliki terhadap Charis. Namun, ia sadar bahwa kehadiran Charis dalam hidupnya dapat memberikan rasa nyaman yang selama ini ia dambakan.

"Tadi baru selesai kelas, Cha?"

Charis mengangguk sambil melepas coat yang ia kenakan, lalu membenarkan posisi mat sebagai tempat duduknya.

"Tadi ikut kelas tambahan dari Profesor Park, lagi ngejar materi sebelum ujian akhir," jawab Charis tanpa menoleh ke arah Jeno.

Ia masih sibuk melipat coat yang sedikit basah karena tetesan air hujan dan memposisikan kaki senyaman mungkin karena harus duduk lesehan di atas mat untuk jangka waktu yang cukup lama. Jeno mengulurkan setumpuk tissue dan heat pack saat menyadari ujung rambut Charis turut basah, begitu pula dengan telapak tangannya yang nampak begitu merah karena suhu udara yang semakin dingin.

"Thanks, Jen," ujar Charis sambil melirik singkat ke arah Jeno, lalu kembali fokus pada aktivitasnya mengeringkan rambut.

"Kenapa tadi nggak mau dijemput? Kan kamu jadi kehujanan gini," tanya Jeno dengan nada suara khawatir.

Sang puan tak langsung menjawab, ia meremas tissue bekas menjadi gumpalan bola, lalu membuangnya ke tempat sampah kecil yang berada di ujung ruangan.

"Sorry, aku ribet banget, ya?"

Jeno menggeleng ringan sambil tersenyum, seolah berkata 'It's okay.'

QUERENCIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang