14|The Party (2)

177 14 0
                                    

Berbanding terbalik dengan situasi lantai dansa yang penuh akan kehangatan, suasana hati Jeno kali ini justru semakin memburuk.

Sejauh mata memandang, rona bahagia terlukis jelas pada setiap wajah yang hadir dalam pesta itu, tak terkecuali Jaemin dan juga Charis. Dua insan itu adalah objek utama yang menyerap seluruh atensi Jeno.

Meski terbentang jarak yang cukup jauh, di bawah temaram lampu pesta yang tak menyilaukan mata, ia dapat melihat dengan jelas ekspresi wajah dan emosi yang terpancar melalui gerak tubuh dan raut wajah keduanya. Mereka terlihat sangat nyaman satu dengan yang lain.

Ada gelenyar aneh yang merambat pada sekujur tubuh Jeno kala netranya menangkap momen Charis dan Jaemin saling merapatkan diri untuk berpelukan. Dadanya terasa sesak, napasnya terasa semakin pendek, dan terdapat letupan emosi dalam dirinya. Jeno sungguh tak familiar dengan perasaan itu. Rasanya sungguh menyiksa, menahan amarah yang tak ia ketahui penyebabnya.

***

"Babe!"

Satu tepukan pelan pada pundak Jeno membuatnya sedikit berjengit terkejut.

"Kamu kok diem aja, sih?" Yena mengambil kursi untuk duduk di samping Jeno.

"Aku lagi capek," jawab Jeno dengan nada tak ramah.

"Kamu kenapa, sih?" Yena mengambil dua lembar tisu untuk mengusap peluh di dahinya, lalu meremas tisu itu dan membuangnya ke lantai. "Kamu tuh ... aneh banget sejak beberapa hari yang lalu."

Kedua mata Jeno menyipit, ia memiringkan sedikit kepala menghadap Yena.

"Maksudnya?"

"Kamu sadar nggak, akhir-akhir ini kamu sering spacing out?"

"Am I?" Jeno mengangkat alis kirinya, meragukan ucapan Yena.

"Ternyata kamu beneran nggak sadar, ya?" Yena mendecih pelan.

"Setiap kali ada Charis, kamu jadi sering ngelamun dan nggak merhatiin aku. Fokusmu jadi teralihkan, Jen."

Belum sempat Jeno membuka mulut untuk menimpali, wanita itu terlebih dahulu melanjutkan keluh kesahnya.

"Kamu nggak bisa balas perasaanku atau memang nggak mau berusaha, sih?"

Kerutan pada dahi Jeno makin terlihat jelas. Ia terkejut akan sikap Yena yang berani menyuarakan isi hatinya. Mungkinkah ini karena efek alkohol atau memang karena wanita itu sudah tidak kuat menahan segala beban dan rasa sakit yang Jeno torehkan pada hatinya.

"I'm sorry," ujar Jeno lirih. Hanya kata maaf yang terlintas dalam kepalanya, bukan kalimat penghiburan.

"Kenapa kamu malah minta maaf?" Yena menatap kecewa kekasihnya.

"Harusnya kamu hibur aku, harusnya kamu comfort aku, Jen."

Yena menghela napas panjang, lalu mengucapkan rangkaian kalimat dengan suara terbata.

"Selama ini aku udah berusaha. Aku selalu berjuang untuk hubungan ini. Jadi, tunggu sebentar lagi, ya. Seharusnya kamu ngomong gitu, Jen. Bukan kata maaf," tutur Yena dengan napas terengah.

"What do you expect from me? Aku lahir dan dibesarkan di keluarga yang nggak pernah mengungkapkan perasaan dan minim afeksi. And why do you expect me to do so?" balas Jeno tak kalah emosi.

Kedua mata Yena membelalak kaget, bahkan ia juga menutup mulutnya yang sedang menganga. Ia terkejut akan fakta hubungan Jeno dengan keluarganya yang kurang harmonis. Selama tiga bulan menjalin hubungan, baru kali ini Jeno berani membicarakan masalah pribadinya.

QUERENCIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang