Matahari tepat berada di atas kepala. Dari kamar tempatnya berada, Seokjin bisa melihat pemandangan Ignis yang sebenarnya cukup indah. Tempat ini didominasi oleh warna hijau dari pepohonan, juga sentuhan berbagai macam warna bunga di setiap sudutnya.
Jika kalian berpikir jika Seokjin hanya diam saja dan menyerah akan hidupnya, maka kalian salah. Jendela yang terbuka lebar di depannya dilindungi oleh sebuah pelindung tak kasat mata. Hal itu membuatnya terjebak di sini, tidak bisa keluar. Sekeras apapun dia mencoba.
Seokjin menghela nafas dan memejamkan matanya. Dia sekarang duduk bersandar di salah satu kursi yang ada di sini. Tubuhnya masih cukup lemah, terasa sakit jika melakukan gerakan yang berlebihan.
Apakah dia sungguh harus mati di sini?
Pertanyaan itu kembali menggelitik batinnya. Sepertinya tidak masalah. Toh, Seokjin tidak pernah punya alasan untuk hidup.
Dia sebatang kara. Seokjin tidak pernah merasakan kehangatan kasih sayang orangtuanya, karena itulah pada akhirnya dia harus membiarkan sisi gelap itu menguasai dirinya. Dia sebenarnya hanya ingin bahagia, apa itu berlebihan?
Mungkin akan lebih baik jika semuanya segera berakhir. Padahal ketika insiden di atap sekolah terjadi, Seokjin berharap untuk mati saja. Tidak ada alasan baginya untuk bertahan lagi. Dunia tidak akan terpengaruh dengan hilangnya dirinya. Semuanya akan tetap berjalan dan baik-baik saja.
Pintu kamar itu terbuka. Jovan berdiri di sana dengan nampan yang penuh makanan. Jika dibandingkan dengan Casta atau Irvine, sang demon berambut pirang gelap itu lebih manusiawi. Dia sering mengajak bicara Seokjin meskipun hanya sekedar basa-basi, dan Seokjin tahu jika sebenarnya demon udara itu tidak ingin melukai siapapun.
"Makanlah dulu." Jovan menaruh nampan itu di meja kecil yang berada tidak jauh darinya.
Seokjin melirik makanan itu sekilas dan rasanya dia ingin menangis saja. Ada makanan Korea di sana, lengkap dengan kimchi. Seokjin jadi rindu negaranya.
"Tadi aku membelinya di Seoul." jelas Jovan tanpa diminta.
"Kau pergi ke Seoul?"
"Hanya tinggal membuka portal dan sampai. Ummmm... makanlah."
"Terimakasih karena memberiku makanan Korea di jam-jam terakhir menuju kematianku." ucap Seokjin, dia mengambil sumpit dan mulai makan.
Jovan terdiam melihatnya. Seokjin tidak kacau lagi seperti kemarin, dia lebih banyak diam. Sayangnya Jovan tidak bisa membaca pikiran sehingga dia tidak tahu apa yang sebenarnya dipikirkan oleh Seokjin.
"Kau tidak takut?" tanya Jovan pada akhirnya.
"Kemarin mungkin iya. Tapi sekarang aku sudah tidak peduli. Aku sudah memikirkannya, mau mati sekarang ataupun beberapa tahun lagi sama saja." Seokjin akhirnya terdiam cukup lama. "Lagipula aku tidak punya alasan untuk melanjutkan hidupku."
"Bukankah masih ada teman-temanmu? Mereka bahkan rela mencarimu kemari meskipun tahu jika itu berbahaya."
"Mereka pasti bisa melanjutkan hidup meskipun aku tidak ada di antara mereka." Seokjin menunduk, mencoba tidak peduli.
Mungkin mereka akan merasa sedih, tapi cepat atau lambat mereka akan melanjutkan hidup. Tanpa dirinya.
Jovan menatapnya sekilas. Sisi gelap itu sudah merusak jiwa Seokjin. Pemuda itu tersesat dan tidak bisa mengenali dirinya sendiri lagi.
"Sebenarnya Harland sudah membawa teman-temanmu kemari."
Seokjin menjatuhkan sumpitnya, dia menatap Jovan.
"Dimana mereka?" tanyanya, ada getaran di suaranya.
"Di lantai bawah. Kecuali si api biru, dia ada di ruangan sebelah."
KAMU SEDANG MEMBACA
LAND OF THE ELEMENTS ✅
FanfictionSelamat datang di Land of the Elements, tempat berkumpulnya pengendali elemen dari seluruh penjuru dunia. End.