/21/

291 58 6
                                    

Hey, bangun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hey, bangun. Ada banyak kenyataan indah yang bisa kita hadapi, walau harus bertemu pahit terlebih dahulu. Tapi itu lebih penting, daripada harus bermimpi tapi tidak pernah dirasakan.

||||||||
Nara kembali nangis, kali ini bukan untuk merutuki betapa kejam ayah nya kepada ibu nya. Tapi kali ini menangisi betapa kejamnya semesta membawa ayahnya.

"Dek Nara, kenalin saya Slamet. Asistennya bapak, udah 10 tahun kayaknya", Pria berbadan besar yang sekarang lagi natap nanar gundukan tanah didepannya ini sekarang bicara ke Nara yang lagi nahan mati-matian gak ngeluarin air matanya lagi.

Pak Slamet kemudian jongkok, sejajarin tubuhnya dengan Nara dan natap perempuan itu sambil senyum.

"Bapak mungkin ngelakuin kesalahan sama Ibu, tapi untuk dek Nara itu bukan kesalahan", Ucapnya.

Nara menyeka air matanya yang keluar terus-terusan, lalu natap pak Slamet.

"Waktu dek Nara lahir, bapak gak bisa nyembunyiin betapa bahagia nya dia, betapa bersyukurnya dia di kasih anak perempuan secantik dek Nara".

"Tapi balik lagi, waktu natap ibu dek Nara lagi-lagi rasa bersalah dan marah ngebuat bapak jadi bersikap kaya gitu ke ibu dan dek Nara. Sikap bapak itu sebenernya adalah sikap yang didasari atas kebencian dia terhadap dirinya sendiri".

"Setiap malam, saya selalu liat bapak mandangin foto ibu sama dek Nara terus mukulin kepalanya sendiri, dia pernah bilang kalau dia mati, dosa saya gak bakal di maafkan, saya udah hamilin anak orang diluar nikah, ketika saya bertanggung jawab, saya jahatin mereka".

Pak Slamet natap Nara lagi, kali ini sambil senyum hangat, "pada intinya, apapun yang dek Nara fikirkan terhadap bapak saya paham itu wajar. Tapi dek Nara harus tau gak ada orang tua yang gak mencintai anaknya sendiri. Bapak tau apa keinginan dek Nara, maka dari itu bapak udah nyiapin semuanya".

Nara nangis sekencang mungkin, dia peluk nisan ayahnya, sambil berkali-kali ngomong andai waktu bisa di ubah, andai dia tau dari awal perasaan ayahnya dan ibunya.

Nara nundukin kepalanya, natap nisan ayahnya itu, lalu perlahan hapus air matanya.

"Nara ubah omongan Nara yah, ayah cinta pertama Nara. Selamanya".

Naray, Bumi, Senja, Naren dan Nendra berdiri di belakang Pak Slamet sambil narik nafas berulang kali nahan nangis, mereka gak mau bikin Nara tambah sedih dengan liat mereka nangis.

Pak Slamet pamit, menyisakan mereka ber-enam. Perlahan, Naren jalan deketin Nara.

"Lo anak kuat, lo anak hebat Nara", Ucap Naren sambil ngelus rambut cewe itu.

Nendra ikut nyamperin Nara, "kita pulang ya, ibu kayaknya udah bangun, dia butuh lo".

Pada akhirnya ada perihal mengikhlaskan, perihal menerima. Kita gak pernah tau gimana perasaan seseorang, kita gak pernah tau isi hati dan fikiran seseorang.

Kita Bersama BandungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang