Rangga duduk dibawah shower yang mengalir membasahi badannya. Ia duduk lemah menatap ke lantai dengan pakaian hoodie hitam dan kepalanya tertutup topi.
Sesak. Sakit. Dadanya terasa tercekik susah untuk bernafas ditambah badannya yang terasa remuk...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
KEESOKAN harinya Bima dan Hani masih belum bisa menemukan sosok yang mencurigakan itu. Kamera cctv itu memang kurang jelas. Mereka juga melihat profil murid sekolah namun tidak ada sedikit kemiripan. Untuk kali ini, Tuhan tidak berpihak pada mereka.
Di taman sekolah itu, mereka nampak lesu setelah mencari sosok perempuan itu.
"Kita kasih aja ke Pak Didit bukti rekaman semalam, walau gak jelas tapi kita bisa jelasin secara detail," sahut Bima. "Andaikan kita bisa ngelinap ke ruang cctv kantor, bisa cepat." lanjutnya sedikit mendengus.
"Rangga gak ada musuh, tapi kenapa bisa ya?" Hani bermonolog.
"Gue gak bisa marahan sama Rangga terus-terusan," ucap Bima lagi nampak frustrasi. Hani jadi kasihan. "Han, kita langsung ke ruang Pak Didit, karena cepat atau lambat Pak Didit bakalan setor hasil ujian Rangga,"
"Dan... dan beasiswa Rangga bisa dicabut gitu aja,"
Hani mengangguk, ia melihat jamnya. "Kayaknya bantar lagi bel masuk kelas, deh. Sekarang aja ayo.." Tangannya langsung manarik baju Bima, membawanya ke ruang yang mereka tuju.
Sampai disana, mereka melihat Pak Didit yang sedang mengetik sesuatu pada laptopnya.
"Selamat Pagi, Pak.." sapa keduanya.
Pak Didit menoleh. "Bima? Hani? Ngapain kesini? Bukannya bentar lagi udah masuk kelas," tanyanya heran. "Owh iya, Bima. Bapak lupa, kamu panggilkan Rangga sekarang," suruhnya.
"Justru itu, Pak. Kita kesini mau nyampein sesuatu tentang kertas ujian Rangga yang ketukar," ucap Hani dan diangguki oleh Bima.
"Terus, kalian udah ada buktinya?" tanya Pak Didit.
Bima mengangguk lantas mengeluarkan hp-nya dari kantung celananya. Tapi ia jadi gugup setelah apa yang ia cari tidak ada.
"Kenapa, Bim? Mana hp lo?" tanya Hani melihat kebingungan wajah Bima.
"Hpnya hilang."
"Lah, kok bisa?"
***
"GAK ada, Bim?" tanya Hani panik. Tanpa sadar ia mengigit jarinya hingga luka.
Bima mengangguk. Hp-nya menghilang tiba-tiba. Ia sudah memeriksa tas serta lokernya namun benda itu masih saja tak ada. Bukan soal harga namun soal harga diri Rangga, sahabatnya.
"Kayaknya di curi deh, Han." Bima menyandar di lokernya, melipat kedua tangannya di dadanya. "Gue ingat, tadi pagi gue main hp bentar. Pas jam ketiga olahraga gue ingat nyimpannya di loker, dan hilang deh,"
"Gak mungkin juga kita ke ruangan itu lagi,"
"Sialan emang yang ambil hp lo!" sentak Hani sangat kesal dan ingin marah. "Lo, sih! Padahal waktunya hari ini,"