Setelah pulang sekolah Rangga tidak langsung pulang, ia ke sekolah Enzi untuk menjemput anak itu dan sekalian pamer kalau ia punya motor.
Setelah sampai di gerbang Smp tersebut, Ia melihat sekelilingnya, tidak ada Enzi.
"Ciee, itu motor baru atau hasil pinjaman, bang?" Goda Enzi yang tiba-tiba muncul dari belakang. Rangga tadi tidak melihatnya.
Rangga terkekeh kecil tak menanggapi Enzi yang berdecak kagum memandang motornya, matanya terlihat tak sabar menaikinya.
"Naik lo." Suruh Rangga. Enzi yang semangat 45 segera naik.
"Keren. Keren." Tak habis-habis Enzi berkata kagum.
***
"Jadi ini beneran Om Rey yang beliin, bang?" Tanya Enzi masih tak percaya. Saat ini mereka sedang berada di pinggir kota, menikmati hari dengan penuh harapan.
Rangga mengangguk tak yakin. "Gue juga sebenarnya nggak yakin, tapi liat reaksi Papa jadi buat gue makin percaya kalau dia yang beliin."
"Gue juga liat kalau ATM gue ada uang yang masuk." Lanjutnya.
"Benarkah?" Tanya Enzi. "Tapi kok tiba-tiba, ya?" Enzi bukannya berburuk sangka. Namun itu tiba-tiba jadi pikirannya belum yakin.
"Doa'in aja yang terbaik, Nzi.." lirih Rangga. "Owh iya, gue lupa. Sebenarnya gue ajak lo juga karena gue mau beliin hadiah buat lo." Ucapnya mengingat niatnya.
"Serius bang?" Rangga mengangguk.
"Terserah lo mau pilih apa, asalkan tau diri juga." Rangga sudah lama berniat membelikan Enzi sesuatu sebagai hadiah, namun uangnya belum cukup. Namun melihat isi rekeningnya, uangnya bertambah.
"Yes!" Enzi merasa senang. Ia akhirnya bisa membeli sepatu sekolah baru. Dari dulu ia hanya memiliki barang jika ada sumbangan masuk ke panti mereka. Bahkan Enzi masih ingat jika waktu dulu baju-bajunya semuanya kebesaran baginya.
Setelah setelah makan di pinggir jalan dan makan ice cream mereka akhirnya masuk ke sebuah toko sepatu.
Enzi melihat-lihat sepatu. Jika orang-orang melihat sepatu yang mereka suka, lain dengan Enzi yang melihat sepatu harganya dulu. Enzi masih tau diri.
"Dari tadi lo belum nemuin juga?" Heran Rangga, padahal banyak sepatu yang menjadi pilihannya. Mereka sudah ada hampir 10 menit di toko itu.
Enzi menggeleng sebagai jawaban.
Sang empunya toko yang melihatnya segera mendekat. "Ada yang bisa saya bantu?" Tanyanya.
Enzi menggaruk tengkuknya. "Aduh, kak.. maaf lama, ya?" Enzi berucap tak enak. "Enzi belum dapat yang Enzi mau."
Perempuan tersebut mengangguk paham. "Enzi mau yang bagaimana?" Perempuan tersebut seperti mengenal Enzi namun ia lupa, beberapa detik kemudian ia ingat.
"Enzi cari yang murah, soal dibeliin sama abang Enzi," Dagu Enzi menunjuk ke arah Rangga yang fokus melihat-lihat sepatu juga.
Perempuan itu terkekeh kecil. "Baiklah." Ucapnya. "Hmmm, bagaimana dengan ini." Tunjuk memberikan sepatu yang diluar jangkauan pikiran Enzi.
"Aduhh... Gimana, ya? Enzi cariin sepatu yang cocok dipakai sekolah dan dipakai kemana-mana." Ucap Enzi dengan polos.
"Owh, iyakah?"
"Lalu, bagaimana dengan ini?"
"Mahal banget, kak."
"Lalu, kamu suka yang bagaimana?"
"Sebenarnya Enzi suka itu dari tadi, tapi lihat harganya Enzi jadi mengurungkan niat." Enzi kaget melihat harga sepatu disana. Hanya sepatu saja bisa sampai puluhan juta, membayangkan berapa nolnya aja membuatnya pusing.
KAMU SEDANG MEMBACA
RANGGA ANGGARA
Підліткова літератураRangga duduk dibawah shower yang mengalir membasahi badannya. Ia duduk lemah menatap ke lantai dengan pakaian hoodie hitam dan kepalanya tertutup topi. Sesak. Sakit. Dadanya terasa tercekik susah untuk bernafas ditambah badannya yang terasa remuk...