--

36 4 1
                                    

PROLOG

Ini, dia Rangga, Tarangga Reygita Anggara. Sosok lelaki yang random, kadang juga aneh, perhatian dan segalanya. Dia, sosok lelaki yang baik, dia selalu membuat orang suka dengannya dengan cara yang berbeda. Dia anak yang kuat, ya kuat... Kuat seperti besi. Namun bagaimana jika besi itu berkarat karena adanya hujan dan pancaran matahari? Apa jika ia hancur dan tak berguna lagi masih diterima?

Rangga. Lelaki dengan senyuman manis dengan matanya. Tatapan itu, teduh... dan penuh arti.

"Bukan orang yang jadi lawan gue, tapi semesta."

Malam itu tepat di bawah bulan dengan bintang yang melingkarinya. Malam yang sangat berbeda dari biasanya. Baik pada Rangga maupun Bima.

Rangga kembali memasukkan benda itu mulutnya. Rasa dingin langsung saja menjuluki sepenjuru tenggorokannya. Ya, Rangga sedang minum es lebih tepatnya pop ice dengan rasa permen karet. Namun, matanya masih tertuju ke atas.

Dengan perasaan dingin di badannya ia berucap, "Terkadang semesta suka bercanda ya, Bim. Memberikan perasaan tanpa aba-aba, memberikan luka tanpa jeda."

Disana, tepatnya di samping Rangga, Bima hanya diam. Diam bukan berarti tak peduli namun ia bingung mau bicara apa. Matanya menatap Rangga.

Setelah mengatakan hal tersebut, Rangga menunduk dan menghela nafas panjang dan membuangnya secara perlahan.

"Gue mau nyerah, Bim..."

"Untuk kali ini, lo jangan halangin gue, ya?"



"Kehilangan? Apa pantas disebut kehilangan padahal belum sempat memiliki."

***

"Rangga? Kamu tau apa lebih indah yang pernah aku lihat?" tanya Sarah menatap Rangga di depannya.

Rangga yang memakai hoodie hitam itu hanya menggeleng tak tau.

"Kamu."

"Aku?" Rangga tak paham.

Sarah mengangguk-anggukan kepalanya. "Iya. Karena," mata Sarah beralih ke mata Rangga dan kembali berucap, katanya, "Senyuman kamu indah dengan mata itu."

"Aku suka mata kamu itu, Ga. Tatapan kamu yang teduh, tatapan kamu yang penuh arti, tatapan kamu yang mampu menyalurkan kehangatan, dan," ia menggantung ucapannya. "Dan
segalanya tentang kamu."

"Jadi, jangan pernah buat mata itu mengeluarkan air mata buat hal yang tidak jelas. Jangan pernah buat mata itu mengeluarkan air mata setetes pun."

"Aku sangat sayang lo, Ga."

Sarah diam, mengingat kembali semua tentang dia..

"Aku suka mata lo, Ga. Tapi bukan cara seperti ini yang gue mau."

"It's okay, ini cuman gerimis. Kamu pernah ngelewatin hujan badai, jadi gue mohon, kamu bertahan."

***

"Kalau gak demi bokap lo! Buat diri lo sendiri, Rang... Demi gue, Ari juga, bokap nyokap gue dan, dan Enzi!"

Dengan sorot mata yang tak terima, Bima meninggalkan Rangga seorang diri di jalanan penuh batuan. Bima emosi dan kesal dengan Rangga yang seolah-olah dirinya lemah. Karena Bima tau Rangga itu kuat.

"Lo sahabat gue, saudara gue dan keluarga gue."

"Apa yang lo rasain, gue juga harus rasain itu, Rang."

"Gak ada yang boleh sentuh sahabat gue."

Hingga akhirnya hanya beberapa kalimat saja yang bisa Bima ucapkan.

"Rang, lo kemana? Lo pergi jauh banget, ya sampai gue gak bisa tolong lo dan kejar lo."

"Gue rindu sahabat tolol, lemah kayak lo."

***

Enzi duduk di depan pintu, melipat kedua tangannya di dadanya dan menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong.

"Bahkan sampai detik ini pun, suara lo yang selalu gue ingin dengar, Bang. Mata lo yang ingin gue tatap dengan teduh, tangan lo yang selalu menarik gue agar bangkit dan pelukan abang yang hangat."

"Bang, lo dimana? Lo gak kangen ya sama kita sampai lo perginya jauh banget."

"Gue rindu kita yang selalu saling cerita di sore hari di bawah senja, dibawah pohon yang rindang sampai lupa waktu."

"Lo datang lagi ya, bang?"

"Gue tunggu di sini..."

"Di gerbang putih yayasan..."

"Yang selalu terbuka buat lo."


To be continue


Itulah manusia. Mereka lemah sebenarnya, namun ia bisa kuat jika ada orang lain di sampingnya yang menjadi penopang baginya. Manusia diciptakan dengan adanya hati dan perasaan, mereka memikirkan orang lain tanpa sadar orang lain itu tak memikirkannya.

RANGGA ANGGARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang