"Rang, coba buat satu seruan yang pengen lo lakukan di masa depan nanti," ujar Bima seraya menggosok-gosok telapak tangannya.
Tadi, mereka langsung pulang ke rumah tanpa di obati dulu. Akibatnya, orang tua Bima mengomeli keduanya sambil mengobati. Apabila punggung Rangga yang meninggalkan bekas disana, sempat dibawa ke rumah sakit namun Rangga menolak keras, bisa saja papahnya marah, namun apakah itu mungkin?
Pun, Rangga sama halnya menggosok telapak tangannya, karena suasana dingin malam itu sangat terasa di badan mereka. "Seruan?" Rangga memastikan.
"Hmm,"
"Gue akan menjadi seorang ayah sebelum meninggal," ucapnya menatap kedepan. Dalam pikiran, ia membayangkan ia menjadi seorang ayah, punya anak dan juga istri yang menerimanya apa adanya. Keluarga yang bahahia, Rangga membatin.
Bima terkekeh. "Gue kadang heran sama mulut lo. Bicara tanpa berpikir, ya kadang sih. Gue akan tunggu saat itu, dimana anak kita bermain bersama danistri kita yang ngibah," Rangga dan Bima tergelak lucu bersamaan. "Dan, juga.. Kita yang hanya sebagai penonton, atau juga lagi bicarain pekerjaan dengan kopi yang menemani," lanjutnya.
"Gue bisa bayangin, Rang," Bima kembali bersuara. "Bayangin, gimana nanti kita tua. Pasti jelek,"
"Lo bisa aja, Bim. Trus seruan lo?"
"Gue?" Rangga mengangguk. "Hmm, boleh copas nggak sama kayak lo?"
"Ya nggaklah!" Tangan Rangga terulur memukul paha Bima.
"Gue pikir² dulu, soalnya belum ada yang pas,"
"Sae lo lah Bimoli." Rangga tiduran di kursi panjang, sakit di punggungnya masih terasa. Mereka sekarang di belakang rumah Bima dan menikmati malam di pinggir kolam renang.
"Lo gak ada perasaan, ya, sama yang lain?" Ucap Rangga dengan mata tertutup. "Lo masih belum bisa berdamai dengan masa lalu?"
Segera Bima menoleh cepat. "Jangan bicara hal yang nggak penting." Jawabnya ketus.
Rangga terkekeh kecil, ia tau dan paham perasaan Bima. "Kalau dia muncul lagi, lo bakalan terima lagi, nggak?" Tanya Rangga kali ini menatap Bima serius.
Bima bergeming tak mau menjawab karena masa buruknya di bahas. Namun pertanyaan itu cukup menghantuinya.
"Lo harus berdamai dengan masala lalu lo, Bim. Gue yakin lo bisa, walau emang nggak se-mudah itu."
"Lo ada saran?" Kali ini Bima menjawab.
Rangga tersenyum tipis. Bima sosok lelaki ceria di depan semua orang namun rapuh di dalam dirinya sendiri.
"Cari orang baru."
"Seruan tadi masih berlaku, nggak?" Tanya Bima tiba-tiba. Rangga menoleh penasaran.
"Kalau gue punya pilihan gue nggak mau hidup di masa lalu itu."
***
Rangga pulang ke rumah di antar Bima, padahal bisa aja dia tidur disana namun ia ingin sekali pulang. Di depan pintu ada motor sport berwarna merah, ia menyergit bingung pasalnya di rumahnya tidak ada motor. Apakah ada tamu?
Ia melihat sekelilingnya, namun seperti biasa rumah itu akan terlihat sepi. Dilihat-lihat juga motor itu masih baru.
Mbak Putri keluar dengan senyuman senang. "Rangga!!" Serunya dengan semangat. "Akhirnya kamu pulang juga." Mbak Putri tidak heran lagi jika Rangga sering lama pulang sekolah jika di rumah Bima atau di Yayasan.
"Ada tamu, ya, mbak?"
Mbak Putri menggeleng. "Ini motor buat kamu, loh.." ujarnya menunjukkan motor itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
RANGGA ANGGARA
Teen FictionRangga duduk dibawah shower yang mengalir membasahi badannya. Ia duduk lemah menatap ke lantai dengan pakaian hoodie hitam dan kepalanya tertutup topi. Sesak. Sakit. Dadanya terasa tercekik susah untuk bernafas ditambah badannya yang terasa remuk...