Gistara masih sesegukan dalam tangisnya, masih dielusnya puncak kepala Gistara dengan tangan gagah dan lembut milik Iqbal. Sudah hari ke tujuh kepergian orangtuanya, kesedihan yang masih berlanjut.
"Mas, apa aku harus ikhlas atas kepergian Mama sama Papa?" ucap Gistara dengan menyandarkan kepalanya didada bidang Iqbal. Aroma tubuhnya selalu Gistara sukai, aroma mint. Sungguh menenangkan saat didekatnya.
"Kamu harus ikhlas sayang, mereka sudah bahagia ditempatnya. Kali ini tugas kamu hanya untuk mengikhlaskan dan terus mengirimkan do'a untuk Mama dan Papa."
"Aku belum bisa ngabulin permintaan mereka," lirih Gistara didalam pelukan Iqbal.
"Memang beliau meminta apa?" tanya Iqbal. Kepala gadis itu mendongak menatap mata tenang milik suaminya.
"Mama pengen banget liat anak aku, pengen jadi nenek yang baik katanya. Sedangkan Papa ingin melihat aku memakai toga."
"T-tapi aku belum memberi mereka cucu. Sampai waktunya tuhan mengambilnya, aku sangat sedih mas."
Iqbal mengusap lembut puncak kepalanya dan menarik pelam kepalanya untuk masuk kedalam dekapannya.
"Kamu masih bisa mewujudkannya kok," tutur Iqbal.
"Gimana? Aku bisa mengabulkan apa maunya Mama tapi kalau Papa, gak bisa."
"Kenapa gak bisa?"
"Masa aku kuliah berbadan dua, Mas?"
"Kenapa? Boleh-boleh saja, kan kamu bisa ambil cuti saat hamil. Aku gak memaksa kamu buat berhenti meraih impian kamu. Memang kamu mau kuliah jurusan apa?"
"E-eum aku ingin menjadi Psikolog, Mas."
"Istriku memang pintar, semoga saja bisa mencapai impian kamu. Kita raih itu semua bersama-sama."
"Lalu, beberapa minggu lagi kamu kan mau ujian nasional, udah ada planning ingin berkuliah dimana?" Iqbal sangat bingung jika ditanya ingin kuliah dimana. Dia mengingat harus ada tanggung jawab yang harus dinafkahi. Dilain sisi dia juga. Ingin merasakan kuliah. Impiannya mengambil jurusan Ilmu Kedokteran. Kalau ditanya, itu memang impiannya sejak kecil.
"Aku sebenarnya ingin kuliah, tapi kayaknya aku memilih untuk melanjutkan bekerja diperusahaan Ayah."
"Kenapa gak kuliah? Memang mau ambil jurusan apa?" Iqbal harus menimang jawabannya supaya tidak membuat Gistara sedih nantinya. Dia takut Gistara memintanya untuk kuliah.
"Ilmu Kedokteran," jawabnya. Gistara terlonjak kaget, matanya membulat. Kenapa suaminya memilih bekerja? Sedangkan impiannya sangatlah disayangkan jika tidak diteruskan.
"Hah? Kenapa memilih bekerja? Sedangkan yang kamu inginkan adalah impian kamu."
"Iya, aku tau Gis... Mau gimana pun aku udah ada tanggung jawab sebagai kepala keluarga, untuk nafkahi kamu. Aku akan bekerja dari nol, gak mau meminta jabatan yang tinggi kepada Ayah. Biar usaha mencari uangnya juga berkah buat istriku sayang," jelas Iqbal.
Gistara bukanya senang, justru dia sedih menatap lirih Iqbal. Iqbal seorang yang pintar dibidang prestasi memungkinkan bisa diterima dijurusan impiannya. Tetapi dia memilih menafkahi dengan cara bekerja. Gistara sebenarnya tidak memaksa akan keputusan suaminya. Hanya sedikit mengganjal saja.
"Kalau itu keputusan paling tepat, aku ngikut kamu aja. Semoga minggu depan ujiannya lancar dan mendapat nilai terbaik, amin."
Iqbal mengulas senyumannya. Sederatan gigi rapihnya terlihat sangat manis. Gula mungkin kalah manisnya dengan senyum Iqbal saat ini.
***
Satu tahun kemudian
Memasuki satu tahun pernikahannya, keadaan semakin romantis. Semoga saja sampai dia mempunyai buah hati tetap romanyis. Untuk saat ini mereka belum diizinkan mempunyai momongan, tuhan belum memberinya sebuah malaikat kecil untuk keluarganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Waketos Is My Husband [On Going]
Novela Juvenil[FOLLOW SEBELUM BACA] "K-kak Iqbal ngapain maju-maju? Kak j-jangan," ucapnya terputus akibat dia terus maju kearahnya. Dan dia mendekatkan wajahnya yang hanya berjarak satu centi pada gadis tersebut. Cup Tiba-tiba saja ciuman itu mendarat tepat di k...