***
Ardo memasukkan kunci mobil ke dalam saku seragam, berjalan keluar dari area parkiran sekolah. Laki-laki itu sejenak menghentikan langkahnya saat pagi itu Ardo melihat Ara tengah berjalan dari sisi lain menuju lobby yang sama. Kedua mata mereka bertemu. Tak cukup lama, karena Ardo segera mengalihkan pandangannya terlebih dulu. Melanjutkan langkahnya.
Pagi itu, nyatanya rasa kesal itu tidak berkurang sedikitpun. Pertemuan terakhirnya dengan Ara saat pulang sekolah kemarin, saat perempuan itu pulang dengan laki-laki yang tak diketahui itu siapa, nyatanya potongan kejadian itu masih saja menggangunya.
Ara berjalan lebih dulu memasuki lobby siswa, disusul oleh Ardo di belakangnya. Keduanya berjalan di koridor, bersama siswa lain yang juga berlalu lalang di sana. Ardo masih berjalan tepat di belakang Ara. Memandang tas hijau yang ada di punggung perempuan itu dengan rambut cantik yang dikuncir satu ke belakang. Ardo tersenyum kecut, sial perempuan ini selalu menarik dari berbagai sudut.
Sepanjang koridor Ardo membiarkan kakinya berjalan dengan pelan di belakang Ara. Langkah kecil perempuan yang di depannya saat ini, turut membuatnya berjalan seirama dengan langkah perempuan itu. Sebenarnya Ardo bisa berjalan lebih cepat dari itu, tapi entah mengapa dia tidak mau melakukannya.
Ara yang semula memainkan ujung tali ranselnya, menoleh sekilas ke arah belakang atau lebih tepatnya menoleh ke arah Ardo yang masih berjalan di belakangnya. Ara merasa laki-laki itu seperti menjadi lebih pendiam. Lebih tepatnya seperti mengabaikannya. Menganggap perempuan itu seolah tidak terlihat.
Ardo yang merasa dilihat pun hanya memasang wajahnya datar, melirik sekilas pada Ara. Tidak memperdulikan perempuan itu, kembali menatap ke arah depan.
Tentu ada perasaan aneh di benak Ara, tapi sudahlah mengapa ia memikirkan laki-laki itu. Membiarkan, sekali pun ia masih ingin menerkanya. Ara berbelok menuju koridor lain yang langsung menuju kelasnya, sedangkan Ardo masih berjalan lurus. Kelas mereka berada di koridor yang berbeda.
***
Pelajaran kimia. Pelajaran yang sangat tidak disukai oleh Ara. Setiap kali pelajaran itu berlangsung, kepala Ara rasanya ingin meledak.
Ditambah lagi, pelajaran kimia di kelas perempuan itu selalu saja dijadwalkan paling akhir sebelum pulang. Hal ini membuatnya semakin ingin tidur di dalam kelas. Sulit bagi Ara untuk menerima materi pelajaran kimia di jam-jam segini.
Berbeda dengan Reyna, perempuan itu menjadikan pelajaran kimia sebagai mata pelajaran favoritnya. Seperti halnya saat ini, wajahnya berseri ada banyak semangat di sana, juga tangan yang dengan lihai mengerjakan tugas kimia yang diberikan. Ara hanya geleng-geleng melihatnya.
"Suka banget ya sama kimia?" celetuk Ara menyenderkan kepalanya di atas meja.
"Ya dong," jawab Reyna tetap fokus mengerjakan.
"Kok bisa, sesuka itu?" Ara terheran, padahal dia sudah hampir frustasi dengan mata pelajaran ini.
"Bisa dong. Aku suka kimia tuh kaya kamu suka bahasa Indonesia, Ra," ujar Reyna, sejenak menghentikan aktifitasnya.
Ara mengangguk, "Iya iya, dan aku tidak menyukai pelajaran kimia, itu sama halnya kaya kamu yang suka uring-uringan waktu ngerjain tugas bahasa Indonesia."
"Nah, bener! Masing-masing dari kita menemukan hal menarik dan tidaknya di sana. Kita tahu bahwasanya manusia memiliki kesukaan yang beragam."
"Bener, dan kita nggak bisa memaksa orang lain untuk menyukai sesuatu yang menurut kita bagus atau lebih baik. Dalam hidup, kita juga perlu belajar perihal memahami dan menghargai, bukan?"
Reyan mengacungkan jempolnya menyetujui. "Kamu kurang berapa nomor, Ra?"
"Baru ke jawab 3 nomor. Please help me!" jawab Ara frustasi karena hanya 3 dari 10 soal yang baru bisa dia kerjakan.
"Of course, nanti les di aku yak," ucap Reyna bergaya. Ara menonyor pelan pipi perempuan itu. Tertawa.
Ara menyukai pelajaran bahasa Indonesia namun Reyna sebaliknya. Sedangkan Reyna, menyukai pelajaran kimia, namun Ara tidak menyukai mata pelajaran itu. Sebuah perbedaan yang membuat mereka belajar untuk saling menghargai dan membantu.
Seperti halnya saat ini, Reyna tengah menjelaskan tentang tugas kimia kepada Ara. Reyna menjelaskan dengan baik, tidak meninggi karena bisa, juga menjelaskan dengan cara yang tidak merendahkan. Begitu senang bukan jika dikelilingi orang seperti itu? Ara juga merasakannya.
"Eh, yang nomer ini gimana sih, Rey?" celetuk Farah membalikkan badannya ke arah meja belakang, meja Ara dan Reyna.
"Iya, yang ini juga gimana?" Ica juga ikut bergabung.
Reyna menerima segala pertanyaan dari teman-temannya, ia suka bisa membantu, ia juga mau untuk belajar bersama-sama.
Mereka berempat mulai mengerjakan tugas kimianya bersama, hingga tidak terasa suara bel pulang baru saja berbunyi, terdengar di seluruh penjuru sekolah. Reyna lebih dulu menyelesaikannya, disusul Ara kemudian Farah dan terakhir Ica.
"Besok lusa ngumpulin tugas prakarya, kalian bikin apaan?" tanya Ica yang baru saja mengumpulkan tugas kimia di meja guru.
Kelas mereka mendapat tugas prakarya yang mana setiap satu bangku yang berisi 2 orang wajib membuat dan mengumpulkan kerajinan.
"Oh ya! Lupa Ra. Ada tugas prakarya," celetuk Reyna sambil menepuk dahinya.
"Gampang, bikin pot dari botol aja," ucap Ara santai yang memang sudah punya ide tersebut sejak tugas itu diberikan.
"Bosen! Masak setiap kali disuruh bikin kerajinan pasti bikin pot dari botol," ledek Farah.
"No comment ya kak," Ara menyilangkan kedua jari telunjuknya, "Kalian udah bikin?" lanjutnya.
"Belum juga," jawab Ica menggeleng, "Ini baru mau bikin dirumah Farah."
"Yaudah, kita duluan ya, mau nugas nih kita," pamit Farah berlagak, membuat Ara dan Reyna menyeringai melihatnya.
"Byeee." Ica melambaikan tangan, diikuti lambaian Farah setelahnya.
"Iyaa, hati-hati" jawab Ara dan Reyna.
"Ra, nanti kita bikin di rumah aku yuk?" ajak Reyna setelah punggung Farah dan Ica perlahan menghilang.
"Bikin pot dari botol aja ya?" Ara tetep keukeh dengan idenya.
"Aku juga kepikirannya itu." Keduanya tertawa, menertawakan ide tersebut.
"Jam 4 an lebih aku ke rumah kamu, ya?"
"Yoi."
Keduanya sudah berada di halte sekolah. Ara menunggu bus untuk mengantar perempuan itu pulang dan Reyna yang menunggu jemputan mamanya bersama Ara di halte sana.
"Aku duluan ya, Rey," pamit Ara, beranjak dari kursi halte menuju bus yang baru saja datang ke arahnya.
"Iya, hati-hati," balas Reyna melambaikan tangan.
Bus yang di naiki Ara sudah pergi dari halte, sedangkan Reyna masih harus menunggu sedikit lama di halte ini, mamanya bilang ada urusan sebentar baru bisa menjemputnya.
Reyna memandangi bus yang semakin lama tidak bisa ia jangkau dengan penglihatannya. Klakson mobil berbunyi, Reyna menoleh, mobil milik Ardo berhenti di halte yang kini sedang perempuan itu tempati.
"Belum dijemput?" tanya Ardo pada sepupunya.
Reyna menggeleng, "Belum."
"Yaudah, ayo bareng. Pengen main kerumah lo," ajaknya.
Reyna berdiri dari tempat duduknya senang, "Oke, kalo gitu aku bilang mama biar gak perlu jemput."
Ardo mengangguk. Tak lama mobil hitam itu melaju membelah jalan, bergabung dengan kendaraan lainnya.
Sepertinya hari ini Reyna bakal kedatangan 2 tamu.
Bersambung...

KAMU SEDANG MEMBACA
Semoga (On Going)
Teen FictionTentang pertemuan itu, Ara tidak menginginkannya. Jika semesta mengizinkan, semoga tidak ada lagi segala bentuk pertemuan antara dia dengan laki-laki itu. Namun, perihal katanya dunia ini sempit, ternyata memang benar adanya. Mereka kembali bertemu...