4. Sebuah Syarat

183 14 0
                                        

Pertemuan yang kurasa pilu, akankah jadi masa yang selalu ku rindu?

***

"Haaa? jadi dia senior kita?"

"Iya, Ra. Dia juga kapten dari tim futsal sekolah," jelas Farah.

"Masa nggak tahu kak Aderardo Mahardika yang ganteng itu sih, Ra. Temen satu ekskulnya Gavin," sahut Ica yang juga tahu laki-laki itu.

Kapten dari tim futsal sekolah?

Aderardo Mahardika?

Aku mencerna baik-baik apa yang baru saja mereka katakan, hingga tersadar suatu hal yang membuatku tersentak dan refleks berdiri dari tempat dudukku.

"Oh my god!"

"Kenapa sih, Ra?" tanya Farah mewakili keheranan mereka bertiga.

"Jadi dia, siswa yang bakal aku wawancara buat majalah!" kataku tak percaya.

Aku salah satu siswa yang bergabung dalam ekstrakulikuler Jurnalistik di sekolahku. Pak Guntur selaku guru pembina membuat pembagian tugas kepada kami. Dan aku mendapati tugas untuk mewawancarai kapten dari tim futsal SMA Highclassy yang berhasil membawa timnya menjadi juara dalam melawan beberapa sekolah pada Minggu lalu. Dia bernama ADERARDO MAHARDIKA.

"Wah! Fotonya kak Ardo mau dipasang di majalah, nih?" Ica begitu antusias dengan hal itu.

Aku mengangguk, "Kenapa harus dia sih aaaaa" rengekku ingin menangis.

Awalnya tak ada rasa keberatan dengan tugas yang diberikan pak Guntur. Akan tetapi, setelah mengetahui siapa yang harus diwawancara, rasanya aku ingin kabur dari tugas ini.

Harapanku untuk tidak berurusan dengan laki-laki itu nyatanya tak juga terwujud. Ada perasaan kecewa, tapi mau bagaimana? Tuhan lebih tahu mana yang lebih baik perihal sebuah rencana.

Ketiga temanku saling tatap mendengar rengekanku.

"Dia baik kok, Ra," kata Reyna.

Aku menatap Reyna tak percaya.

"Beneran." Reyna mencoba meyakinkanku.

"Ngeselin gitu," jawabku.

"Enggak kok."

"Iya gitu kok."

"Iya sih dikit, banyak baiknya kok." Reyna nyengir menjawabnya.

***

Author pov

"Rey, kenapa?" tanya Ara yang melihat Reyna sedari tadi mondar-mandir kebingungan berusaha menelepon seseorang.

"Ini nih, Ardo nggak angkat telepon aku. Mama suruh aku pulang sama dia, mama nggak bisa jemput," jawab Reyna gugup mencoba menelepon kembali sepupunya.

Sebenarnya Ara ingin memberi tawaran pada Reyna untuk naik angkutan umum saja bersamanya. Namun, Reyna masih trauma dengan kejadian sewaktu kelas 3 SMP dulu, dimana dia hampir saja dicopet oleh seseorang yang penampilannya juga menakutkan baginya. Sampai saat ini dia masih belum juga berani untuk naik angkutan umum lagi.

"Anterin aku ke kelasnya Ardo dong, Ra. Aku nggak tahu kelasnya."

"Minta anterin Fa--" Ara hendak menolak, namun Reyna lebih dulu memotong perkataanya.

"Udah, ayok anterin keburu dia pulang." Tangan Ara ditarik begitu saja oleh Reyna membawa perempuan itu menuju ke kelas Ardo.

Bukan bermaksud Ara tak ingin membantu, akan tetapi rasanya terlalu malas dengan hal apapun yang berhubungan dengan laki-laki itu. Tapi biarlah kali ini ia mengabaikan perasaannya itu, Ara tak akan meninggalkan Reyna lagi seperti saat mereka di toko buku hanya karena Ardo. Sahabatnya saat ini sedang membutuhkan bantuannya.

Semoga (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang