Senyum Ara mengembang membaca kehidupan dua manusia fiksi di dalam novel yang dibacanya. Gerimis masih saja belum mau berhenti, jendela kaca kamar perempuan itu basah menampakkan titik-titik hujan di sana.
Ara menarik lengan hoodienya menutupi telapak tangan, mengurangi dingin yang terasa. Tak lupa secangkir coklat panas ada di meja, tersisa setengah cangkir, perempuan itu sudah meminumnya.
Ara membuka-buka lembar halaman novel, semakin bersemangat membaca dan hanyut dalam cerita fiksi tersebut. Mungkin ia akan bergadang bersama novel itu mengingat besok hari Sabtu, hari libur sekolah.
"Araaa," panggil bunda membuka pintu kamar.
Kegiatan membacanya terhenti beralih memperhatikan bunda yang berjalan menghampirinya, memberikan ponsel pada Ara.
"Ini Reyna telfon, kamu gak bisa ditelpon katanya."
Ara meraih ponsel bunda, rasanya ia ingin menelan Reyna. Ara sengaja tidak mengaktifkan ponselnya sesampainya perempuan itu di rumah, berusaha menghindari segala pertanyaan tentang kejadian tadi sore. Ara masih belum punya banyak energi untuk menceritakannya.
"Bunda tinggal, ya. Nanti tolong anterin ke kamar bunda." Ara mengangguk.
Panggilan dalam ponsel itu kini sudah digabung menjadi 4 orang, Reyna menambahkan Farah dan Ica dalam panggilan itu. Suara mereka bersahutan menyudutkan Ara untuk segera bercerita dan menghilangkan rasa penasaran mereka.
Ara menghela nafas panjang mendengar suara ketiga sahabatnya.
"Aku lagi baca novel, ceritanya besok aja." Ara beralasan, sungguh ia tidak ingin membahas hal itu.
"Gak bisa, udah kepo maksimal ini," elak Ica. Selalu dengan kehebohannya.
"Novelnya saja yang dibaca besok!" Farah juga tidak sabaran.
"Aku udah effort nelpon bunda kamu loh Raaaaa." Tak habis fikir, mengapa Reyna seniat itu hingga harus menelepon bundanya. Kegiatan membacanya kini juga harus terganggu. Pada akhirnya Ara harus mengalah, ia mulai menjelaskan kejadian tadi sore.
Ara bercerita tentang bagaimana mereka bisa berboncengan sore itu, bercerita bagaimana ia bisa berurusan dengan Ardo, bercerita tentang sebuah syarat yang membuat dirinya lebih sering bertemu dengan laki-laki itu.
"Nggak ada yang spesial, gak perlu dibahas lagi." Ara mengakhiri cerita yang bahkan 15 menit saja tidak ada. Perempuan itu berusaha menjelaskannya sesingkat mungkin.
"Terus alasan ia buat syarat itu apa?" tanya Ica di seberang telepon.
"Iya aneh banget." Reyna ikut menyahut.
"Nggak ada yang aneh, itu mungkin karena kejadian di supermarket dekat toko buku Kusuma Putri." Ara bercerita kembali, bercerita tentang pertama kali ia bertemu dengan Ardo di sana. Bercerita tentang dompet Ardo yang terjatuh, lalu ia menegurnya dan sempat terjadi perdebatan di antara dua manusia itu.
"Yakin karena itu, Ra?" tanya Farah.
Ara mengangguk yakin, walaupun sebenarnya ia juga tidak tahu alasan yang jelas dari persyaratan tersebut.
"Apa nggak karena Ardo ada sesuatu sama kamu?" ujar Reyna.
"Nggakkk!" tegas Ara yang sudah muak dengan gurauan Reyna itu.
***
Jam menunjukkan pukul 11 malam. Ardo sudah tidur dari jam 9. Kepalanya pusing, suhu badannya tinggi, ia bersin berkali-kali. Hoodie dan selimut membalut tubuhnya, membantu meredakan dingin yang terasa sedari hujan pulang sekolah.
Tidurnya tidak nyenyak dengan kondisi badan yang seperti ini. Laki-laki itu terbangun, berdiam diri sebentar mendudukkan dirinya di tempat tidur lalu pergi ke kamar mamanya dengan langkah yang pelan.
![](https://img.wattpad.com/cover/213740744-288-k870395.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Semoga (On Going)
Genç KurguTentang pertemuan itu, Ara tidak menginginkannya. Jika semesta mengizinkan, semoga tidak ada lagi segala bentuk pertemuan antara dia dengan laki-laki itu. Namun, perihal katanya dunia ini sempit, ternyata memang benar adanya. Mereka kembali bertemu...