18. Rumah Itu

29 3 0
                                        


***

"Siapa nih yang pesen?" Ica menoleh ke belakang, bertanya pada ketiga temannya. Mereka sedang berjalan menuju pintu masuk kantin.

"Ayo Ca, sama aku," ajak Ara yang berjalan di samping perempuan itu.

"Yaudah, ayo!" jawab Ica menyetujui. "Kalian cari tempat duduk, ya," sambungnya menatap ke arah Reyna dan Farah.

"Iyaaa ndoro," balas Farah yang juga di angguki oleh Reyna.

"Kalian mau makan apa?" tanya Ara sebelum pergi memesan makanan.

"Bakso sama es teh aja aku," Reyna menjawab lebih dulu.

Farah mencebikkan bibirnya berpikir, "Samain aja deh."

"Aku juga sama deh," kata Farah menyamakan menu.

"Oke. Samain semua aja, ya." ucap Ara memantapkan.

Mereka berpencar. Ara dan Ica pergi memesan makanan, sedangkan Reyna dan Farah memilih tempat untuk mereka duduki nanti. Kursi kantin paling ujung menjadi tempat duduk pilihan mereka. Keduanya duduk di sana, membicarakan banyak hal sambil menunggu dua temannya datang membawa makanan.

Di tengah obrolan mereka, dua kakak kelas perempuan datang menghampiri, mereka anak kelas 12.

"Boleh gabung?" tanya salah satu dari mereka, Rachel namanya.

Reyna dan Farah saling bertatapan sesaat, kemudian mengangguk memperbolehkan kedua kakak kelasnya duduk di sana. Kursi yang mereka duduki sekarang cukup untuk menampung 6 orang.

"Ini, Reyna ya?" tanya Rachel setelah duduk di depan Reyna dengan mangkuk bakso yang juga baru saja dia taruh di meja.

Reyna mengangguk, ternayata kakak kelasnya sewaktu SMP itu masih mengenalinya, "Iya kak, kita dulu satu SMP." Reyna sedikit canggung menjawabnya.

Mereka dulu berada di satu sekolah yang sama waktu SMP, bersama Ara juga. Dari dulu, Rachel selalu dikenal dengan kakak kelas yang ramah dan cantik. Dia juga pernah menjabat sebagai wakil ketua OSIS sewaktu SMP. Dia cukup dikenal banyak orang.

Rachel mengangguk mengingatnya. "Kalau kamu namanya siapa?" tanyanya beralih menatap ke arah Farah. Tersenyum.

"Farah kak," jawab Farah ikut tersenyum.

"Aku Rachel, kenalin ya. Kalo temen aku ini namanya Tara, kenalin juga," ucap Rachel memperkenalkan diri, kemudian menunjuk temannya untuk sekalian dia perkenalkan.

"Oh iya, kenalin aku Tara." Tara yang semula hanya diam memperhatikan, kini ikut bergabung dalam obrolan itu.

"Iya, salam kenal kak," ucap Farah dan Reyna bersautan.

"Kalian ada di kelas apa nih, btw?" tanya Tara mulai mengakrabkan diri.

"11 IPA 2 kak," jawab Farah. "Kalau kak Tara sama kak Rachel ada di kelas apa?" lanjutnya .

"Kita anak 12 IPS 2."

"Oh, sebelahnya kelas Ardo," gumam Reyna pelan namun masih bisa terdengar oleh mereka.

"Kenal Ardo?" tanya Rachel yang mendengar gumaman Reyna.

"Oh, dia sepupu aku kak."

Rachel dan Tara saling tatap kaget, lalu mengangguk-anggukan kepala menanggapi.

"Btw, dia dulu waktu SMP nggak satu sekolah sama kita ya?" Rachel kembali bertanya.

"Iya, enggak kak. Dia anak SMP 3."

Sesaat kemudian, Ara dan Ica datang dengan nampan yang berisi bakso dan es teh. Sempat terkejut dengan kehadiran kakak kelasnya yang bergabung dengan dua temannya itu. Terutama Ara, ada rasa tak nyaman yang selama ini tak kunjung hilang dari dalam dirinya perihal kakak kelasnya yang bernama Rachel ini.

"Hey, Ra!" sapa Rachel lebih dulu saat Ara dan Ica baru saja datang ke sana. Kakak kelasnya ini masih mengingat Ara begitu pun sebaliknya.

"Iya kak, hey!" balas Ara pada Rachel lalu bergabung duduk dengan mereka. Ica yang berada di samping Ara hanya mengangguk sebagai sapaannya. Kedua kakak kelas itu akhirnya juga berkenalan dengan Ica. Ara pun juga berkenalan dengan Tara.

Sesaat setelah itu mereka mulai menyantap bakso milik mereka yang kebetulan mereka ber enam memesan menu yang sama.

Kali ini, Ara tak begitu selera memakan bakso miliknya, rasanya ia ingin segera pergi dari tempat ini. Bukan Ara tak suka dengan kakak kelas yang saat ini berada satu meja dengannya. Namun, kini ia tengah bertarung dengan pikirannya. Pikiran tentang masa lalu yang seolah tak mau memaafkan Ara.

Keringat dingin mulai menguasai tubuhnya, dia tak nyaman dengan keadaan saat ini. Bakso yang dimakan pun terasa tak se enak biasanya.

Reyna melirik sahabatnya itu, ia tahu apa yang Ara rasakan. Dia selalu merasa tak nyaman dengan hal yang berkaitan dengan masa lalu di SMP. Reyna tahu sahabatnya sedang tidak baik-baik saja.

"Ra, anterin ke kamar mandi, dong," ajak Reyna beralasan pergi dari tempat yang saat ini ia duduki, bodo amat dengan baksonya yang masih cukup banyak.

Ara mengiyakan ajakan itu, ada perasaan lega di sana. Reyna menyelamatkan dia dari rasa ketidaknyamanan itu. Keduanya berdiri, berpamitan pada orang-orang yang ada di meja dan pergi meninggalkan.

***

Gerimis lagi-lagi datang mengguyur mobil Ardo malam ini. Laki-laki itu berencana pergi ke rumah Reno, berkumpul bersama beberapa teman laki-laki dari kelasnya, ada anak kelas sebelah juga. Mereka suka dengan agenda nongkrong seperti ini, ada banyak cerita, ada banyak tawa, ada banyak hal yang bisa membuat lupa akan luka. Dan ketika nongkrong, mabar game tak boleh ketinggalan.

Jam baru saja menunjukkan pukul 7 malam, namun jalan yang ia lewati sudah sepi pengendara. Mungkin karena jalan yang dia lewati kini bukan jalan besar, ditambah gerimis yang membuat kebanyakan orang enggan untuk keluar.

Ardo memicingkan matanya saat lampu mobilnya menyorot ke arah mobil yang posisinya seperti menabrak pohon besar di sebelah kiri jalan.

Mobil Ardo dengan ragu melaju mendekati dan berhenti tepat di belakangnya. Bersamaan dengan itu pemilik mobil keluar dengan langkah gontai mencari bantuan.

Ardo yang melihatnya dengan rasa khawatir segera keluar dari mobil, menolong pria paruh baya itu. Pemilik mobil yang berusia sekitar 40 an tahun, juga kejadian seperti ini nyaris membuat Ardo teringat dengan papanya yang meninggal akibat kecelakan.

"Pak, kita ke rumah sakit ya?" tanya Ardo memegang kedua lengan pria paruh baya itu agar tidak ambruk. Yang ditanya hanya diam memegangi kepalanya, penglihatannya sedikit mengabur.

Hujan tiba-tiba turun semakin deras membuat Ardo dengan cepat menuntun bapak itu untuk masuk ke dalam mobilnya.

"Mi-num." Bapak itu berkata dengan tertatih. Ardo sudah membawa pria paruh baya itu masuk ke dalam mobil. Dengan cekatan Ardo segera mengambil botol air yang beruntungnya ada sebotol air di dalam mobilnya. Ardo membantu pria paruh baya itu untuk minum.

"Makasih, ya, nak. Bersyukur bapak ketemu kamu," ucap pria paruh baya itu, keadaannya lebih tenang dibanding sebelumnya.

"Kita ke rumah sakit ya pak?" Ardo bertanya khawatir.

"Enggak perlu. Tolong anterin bapak pulang aja. Saya cuma kaget," ungkap pria itu, dan memang benar tidak ada luka yang parah, hanya ada beberapa goresan kecil.

Melihat sepertinya keadaan pria yang bersamanya saat itu tidak begitu parah, akhirnya Ardo mengiyakan ajakan pria itu untuk pulang. Dan untuk masalah mobil, Ardo menelepon salah satu pegawai bengkel yang dia kenali untuk mengatasi mobil yang menabrak pohon itu.

Mobil Ardo berjalan dengan tenang, tidak ada perbincangan diantara keduanya. Perlahan pria itu tertidur setelah memberitahu dimana lokasi rumahnya berada. Alamat yang seperti tidak asing lagi baginya. Ardo mengenali setiap jalan yang ia lewati saat itu. Perjalanan malam itu membuatnya banyak berpikir.

Beberapa menit terlewati dengan rasa penasaran yang tak kunjung hilang sepanjang jalan, sampailah Ardo di rumah yang memang benar alamat itu tidak asing baginya, rumah yang memang ada dipikirannya sepanjang ia mengenderai mobil. Dia pernah pergi ke tempat ini sebelumnya. Alamat ini ialah alamat rumah Ara.

Dunia selalu saja membawanya pada perempuan itu.

Bersambung...

Semoga (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang