Segala duka itu, jangan kau bawa sendiri. Bawalah bersamaku, aku bersedia.
***
Di sore hari, masih berbalut dengan seragam sekolah, dua remaja duduk di atas motor vespa yang sengaja dikendarai dengan pelan. Ditemani dengan mendung yang perlahan pergi, menghilangkan warna sendu di langit dan seolah juga ikut membawa pergi perasaan sendu yang ada di hati Ara.
Ardo yang sedari tadi hanya diam, sesekali melirik Ara dari kaca spionnya. Perasaan tidak baik di wajah perempuan itu kian melebur, sepertinya. Raut wajah sendu sepulang sekolah, kini tak sejelas tadi. Ardo bernafas lega melihatnya.
"Mau jajan apa?" tanya Ardo sedikit berteriak, suaranya bersanding dengan riuhnya kendaraan di jalanan sana.
Ketika perempuan itu datang menghampirinya tepat setelah bel pulang berbunyi, menatapnya dengan tatapan redup, Ardo mengerti ada hal yang tidak menyenangkan dihari perempuan itu. Tidak seperti biasanya. Ardo lebih suka raut sebal yang biasa Ara tunjukkan daripada raut sendu itu.
"Ayo gue traktir jajan," kata yang sempat Ardo ucap sepulang sekolah tadi. Mencoba menghibur. Entahlah, perkataan itu muncul begitu saja.
"Terserah, kan kamu yang traktir," jawab Ara yang baru menyadari sepanjang perjalanan mereka, laki-laki itu hanya diam dan baru mengeluarkan suaranya.
"Jangan terserah, kalo terserah gak jadi gue traktir." Ardo mengancam. Jawaban terserah itu cukup membingungkan bagi laki-laki, tidak hanya laki-laki bahkan hampir semua orang.
"Yaudah." Ara tak mempermasalahkannya. Ia tak punya banyak energi hari ini. Juga baginya berkeliling di sore ini bersama laki-laki itu sudah terasa cukup. Suasana hatinya tak seburuk sebelumnya.
"Yaudah, ikut gue." Ardo membelokkan setirnya ke kiri ketika berada di pertigaan jalan yang mereka lewati.
"Kemana?" tanya Ara.
"Buang lo," jawab Ardo asal. Selalu seperti itu.
Ara hanya menghela nafas dalam. Menghiraukan. Sekalipun sebenarnya ia ingin sekali menjitak laki-laki yang ada di depannya ini.
5 menit berlalu, motor milik Ardo di bawanya mengelilingi setengah danau dan berhenti di kursi kayu yang ada di sana. Mereka pergi ke sebuah danau dengan banyak pohon di sekelilingnya. Ada beberapa kursi yang bisa di duduki siapa saja, juga ada beberapa angsa yang berenang di danau sana.
Ardo turun dari motornya diikuti oleh Ara, duduk di kursi kayu dan kembali Ara mengikuti apa yang dilakukan laki-laki itu.
Ara memperhatikan sekitar, memandangnya takjub. Indah. Ara sangat menyukai tempat seperti ini. Menghirup udara di sana kemudian menghembuskannya bersama segala keresahan dalam dirinya.
Senyum kecil terbit di bibir Ardo, menatap Ara yang kini tengah menutup matanya, anak rambutnya dibiarkan berterbangan ringan, senyum kecil juga terukir di wajah perempuan itu.
"Kalo lagi nggak baik-baik, bilang aja, bilang gimana supaya gue bisa bantuin ngilangin perasaan itu," ucap Ardo membuat Ara membuka kembali matanya.
"Hah?" Ara mendelik, dahinya terlipat mendengar kalimat Ardo. Cukup terkejut dengan pernyataan laki-laki itu.
Ardo mengalihkan pandangannya, dibuat bingung sendiri dengan perkataannya barusan.
"Gausah geer, muka lo melas, sepet gue lihatnya," elaknya tak ingin dianggap sok perhatian.
Ara mendengus mendengarnya, "Aku nggak kenapa-kenapa juga lagian, sok tahu banget."
Ardo menoleh lagi, "Tatapan redup, raut wajah yang lesu, juga helaan nafas dalam berkali-kali sedari tadi, yakin masih bilang gak kenapa-kenapa?"
Ara tertegun mendengarnya. Apa kelihatan banget ya, raut kesedihan diwajahku? tanyanya pada diri sendiri.
Diam. Cukup lama. Berganti Ara yang mengalihkan arah pandangnya.
"Mumpung gue lagi baik hati." Ardo menyenderkan punggungnya di kursi kayu, masih menunggu apa yang akan Ara katakan.
"Beneran boleh minta bantuannya?" Ara menoleh, membiarkan laki-laki itu tahu kalau memang dia sedang tidak baik-baik saja hari ini.
"Boleh," balas Ardo. "Anytime, Ra. Segala duka itu, jangan kau bawa sendiri. Bawalah bersamaku, aku bersedia." lanjutnya dalam hati.
Tanpa perlu Ara tahu, Ardo akan selalu bersedia menjadi bagian dari pelebur kesedihan itu.
"Yaudah, how's your day?" tanya Ara membuat Ardo terheran dengan pertanyaan barusan.
"Bukannya gue yang seharusnya nanya itu?" ucap Ardo kembali duduk tegak. Tidak lagi bersandar pada kursi kayu.
"Nggak juga."
"Kenapa?"
"Ngilangin perasaan buruk itu nggak harus ditanya hariku seperti apa, nggak harus aku ceritain masalahku. Kadang ngobrol dan dengerin cerita orang lain lebih bisa bikin aku lupa sama kesedihan yang aku rasain, karena saat itu aku hanyut dalam obrolan dan cerita mereka," jelasnya.
Ardo akhirnya mengangguk paham, cukup logis juga pemikiran perempuan itu. Adakalanya kita memang tak perlu membiarkan pikiran kita untuk terus hanyut dalam hal-hal yang berbau kesedihan.
"Oke, gue mulai."
Ara mengangguk, tersenyum simpul mendengarnya.
Ardo berkesiap menceritakan apa saja yang sudah dia lalui hari ini, hari kemarin atau hari-hari lalu yang sudah tertinggal di belakang. Membiarkan perempuan itu hanyut dalam ceritanya juga obrolan-obrolan mereka di sore itu.
Obrolan yang saling bertaut. Obrolan yang nyaman bagi Ara, dengan sisi lain dari laki-laki itu, sisi lain yang tidak menyebalkan. Bisa dibilang Ara betah dengan obrolan ini. Cerita-cerita Ardo juga berhasil membuat Ara hanyut di dalamnya. Sesekali Ara juga ikut menceritakan beberapa hal dalam hidupnya. Bukan cerita yang mendalam hanya cerita-cerita kecil yang cukup menyenangkan untuk dikenang.
Di danau yang tenang, dengan angin yang menyapa lembut kulit, bersama Ardo kini, Ara perlahan melupa pada kesedihan yang sempat terasa.
"Makasih." Satu kata yang terucap dari mulut perempuan itu.
"Huh. Capek gue ngobrol, haus. Traktir!" keluh Ardo yang sebenarnya itu ialah kebohongan. Ia tidak capek, bahkan mau-mau saja kalau harus melanjutkan obrolannya lagi. Tapi untuk haus, ia jujur akan hal itu.
Kali ini Ara tak merasa kesal dengan permintaan Ardo, "Mau minum apa?"
"Apa aja."
"Nggak jadi aku traktir kalo gitu," Ara balik mengancam, seperti apa yang Ardo lakukan saat mereka masih di jalanan tadi.
"Dih, ikut-ikutan."
"Biarin."
"Gue yang traktir makan deh, gue udah bilang mau traktir tadi. Kalo lo mau apa?" Ardo justru bertanya balik, belum juga menjawab pertanyaan Ara.
"Kalo mau kamu?" Tatapan Ara mengarah sepenuhnya pada Ardo. Menatap laki-laki itu lekat. Serius.
Dahi Ardo terlipat menuntut penjelasan, "Maksudnya?"
"Ya-a, aku mau kamu," jawab Ara masih dengan gerak tubuh dan ekspresi yang sama. Ardo juga mulai ikut memasang wajah seriusnya.
Ardo terdiam, susah payah menelan salivanya. Masih mencerna perkataan Ara. Bingung harus mengatakan apa.
"Bercanda haha," Ara menggeplak lengan Ardo yang mematung. Tertawa renyah melihat ekspresi wajah laki-laki itu.
"Fuck lo, Ra." Ardo langsung membuang muka ke arah lain, membiarkan Ara yang masih saja tertawa meledeknya.
"Seneng?" ketus Ardo.
"Banget!" jawab Ara bersama tawanya yang mulai mereda. Ardo berancang seperti hendak menonjok muka Ara, kesal dengan perempuan itu. Tapi biarlah, setidaknya kesedihan yang dimiliki perempuan itu mereda. Rasa kesalnya sudah tertutupi dengan senyum merekah perempuan itu.
Bersambung...
Terimakasih buat yang udah sempetin baca <3

KAMU SEDANG MEMBACA
Semoga (On Going)
Teen FictionTentang pertemuan itu, Ara tidak menginginkannya. Jika semesta mengizinkan, semoga tidak ada lagi segala bentuk pertemuan antara dia dengan laki-laki itu. Namun, perihal katanya dunia ini sempit, ternyata memang benar adanya. Mereka kembali bertemu...