Pagi ini, Adira tengah menyiapkan sarapan untuknya dan juga untuk Andra. Sebenarnya Adira juga tidak tahu apakah Andra mau sarapan bersamanya atau tidak. Tapi apa salahnya mencoba bukan?
"Selesai." Adira tersenyum menatap sandwich serta segelas susu coklat yang sudah ia siapkan di meja makan untuk kakaknya.
Adira duduk dan menunggu Andra turun ke bawah untuk sarapan bersama. Ia sudah lapar. Tapi keinginannya untuk makan bersama Andra lebih besar daripada rasa laparnya. Adira berharap Andra segera turun dan sarapan bersamanya kali ini. Benar, tak lama kemudian, Andra menuruni satu persatu anak tangga lalu menghampiri meja makan membuat Adira mengembangkan senyumnya.
"Kak, kita sarapan bareng ya. Adira udah siapin sandwich sama susu coklat buat kak Andra," ucap Adira. Ia menuntun pergelangan tangan Andra untuk duduk di salah satu kursi.
Andra pun pasrah saja. Toh, ia juga lapar, jadi mau tidak mau ia memakan sandwich buatan Adira. Andra melirik sekilas pada wajah adiknya itu dan tatapannya jatuh pada pipi mulus Adira yang tadi malam sempat ia tampar. Yang Andra heran, kenapa sikap Adira seakan-akan tidak terjadi apa-apa? Padahal Andra rasa tamparan yang ia lakukan tadi malam harusnya membuat Adira minimalnya marah. Tapi ini apa? Adik bodohnya itu tidak marah sama sekali.
"Kak Andra heran ya sama sikap Adira? Yang ada di pikiran kakak pasti Adira marah kan waktu kakak tampar Adira tadi malem? Atau paling nggak Adira sedih?" tanya Adira.
Andra hanya menatap sekilas lalu kembali mengunyah sandwich yang ada di mulutnya.
"Nggak usah heran kak, Adira udah biasa bersikap seolah baik-baik aja. Kakak tau kenapa? Itu karena sekalipun Adira merasakan sakit, pada akhirnya kakak juga nggak bakal peduli kan? Bahkan nih ya, tiga hari yang lalu Adira juga ditampar tau sama temen. Apa kakak peduli akan itu? Nggak. Makanya Adira lebih baik bersikap kaya orang bodoh daripada bersikap supaya dikasihani. Karena pada akhirnya, kakak nggak akan pernah mau peduli."
Andra hanya sesekali melirik Adira yang seperti berbicara sendiri. Ia tidak menanggapinya, karena jujur Andra juga bingung mau menjawab apa. Di satu sisi ia merasa gagal karena membiarkan Adira di tampar oleh temannya. Tapi di sisi lain, ia juga tidak bisa berbuat apa-apa karena ia juga menyakiti Adira dengan segala perlakuan kasarnya.
Adira menatap Andra yang tampaknya seperti sedang memikirkan sesuatu. "Nggak usah di pikirin kak, Adira cuma mau berbagi keluh kesah aja. Kalo kakak nggak mau dengerin, anggep aja kaya orang gila yang ngomong sendiri."
"Kak Andra, Adira boleh minta sesuatu?" tanya Adira.
"Hm."
"Anter Adira ke sekolah ya, kali ini aja," pinta Adira dengan puppy eyes nya.
Andra meneguk segelas susu hingga tersisa setengah lalu beranjak dari duduknya. Adira sendiri sudah pasrah karena ia pikir Andra akan menolak. Tapi tanpa Adira duga, ucapan Andra selanjutnya membuat senyumannya mengembang.
"Gue tunggu lima menit, lo nggak keluar, gue tinggal!" ancam Andra.
Cowok itu melangkahkan kakinya menuju mobil sedan merah yang sudah terparkir di halaman rumah. Sementara itu, Adira bergegas menghabiskan sandwich nya kemudian meneguk segelas susu. Selepas itu, Adira langsung mengambil tasnya lalu bergegas menuju mobil.
Adira sudah duduk di kursi samping kemudi. Tak lupa juga ia memasang sabuk pengaman pada tubuhnya. "Yu ka, jalan."
Dengan segera, Andra melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang meninggalkan pekarangan rumah. Sepanjang perjalanan, hanya keheningan yang tercipta. Andra diam, cowok itu hanya fokus pada jalanan didepannya.
"Eum…kak. Kapan hubungan kita layaknya kakak adik diluaran sana? Adira kangen kakak yang dulu, kakak yang selalu ngerti apa yang Adira mau. Tapi sekarang apa? Bahkan kakak aja jarang komunikasi kalo Adira nggak yang mulai duluan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Laksana Hujan [completed]
Teen Fiction"Aku itu ibaratkan hujan, dan Erland adalah buminya. Hujan selalu kembali ke bumi meski telah dijatuhkan berkali-kali. Tapi, akan ada saatnya kemarau menggantikan hujan. Disaat itulah, hujan akan pamit pergi dari bumi. Ini adalah gambaran, dimana a...