Pagi hari sekali, Adira sudah berada di sekolah. Lebih tepatnya ia berada di perpustakaan. Sebenarnya tubuhnya masih lemah karena kejadian semalam. Bayangkan saja, ia dikunci di kamar mandi sampai pagi hari. Untung saja Adira kuat sehingga dirinya tidak sampai pingsan. Paginya, dengan segenap usaha yang ia lakukan, akhirnya Andra membukakan pintu kamar mandi itu sehingga Adira bisa sekolah sekarang.
"Adira."
Adira menoleh ke arah sumber suara. Arka berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana abu-abu nya. Jangan lupakan senyum ramah yang Arka tunjukkan pada Adira. Sekedar informasi, Arka termasuk orang yang ramah senyum. Makanya cowok itu banyak disukai oleh siswa-siswi di SMA Dinata.
"Gue boleh duduk di sini?" tanya Arka meminta persetujuan Adira.
"Duduk aja, Ka."
Arka duduk sambil memperhatikan Adira hingga tatapannya tertuju pada luka yang berada di pergelangan tangan gadis itu. "Tangan lo kenapa, Ra? Kok merah-merah gini?"
Adira yang sadar langsung menyembunyikan pergelangan tangannya dibelakang punggung. "Ini cuma luka kecil. Udah biasa buat gue."
"Luka kecil lo bilang? Ini parah Adira! Terus muka lo keliatan pucet banget. Lo sakit?"
"Iya sakit. Sakit banget malah," gumamnya kecil tapi masih dapat didengar oleh Arka.
"Sakit kenapa, Ra?"
"Gue cuma bercanda kok," elak Adira. Ia mengalihkan pandangannya dari tatapan Arka. Adira berpura-pura menyibukkan dirinya dengan membaca buku kimia.
"Tapi gue gak liat kalo lo lagi bercanda."
"Emang lagi gak bercanda," batinnya.
"Lo sakit? Sakit kenapa, Ra? Sakit itu cakupannya luas. Sekarang lo cerita sama gue. Apa arti kata sakit yang lo maksud?" Arka menatap manik hitam milik Adira. Ia menemukan setitik kebohongan. Arka rasa, ada suatu hal besar yang Adira sembunyikan.
"…"
"Oke gini. Lo jangan anggep gue Arka, lo juga jangan anggep gue sebagai Erland. Karena, gue gak bisa gantiin posisi dia di hati lo. Tapi untuk sekarang, lo anggep gue sebagai kakak lo. Cerita semuanya, Ra. Gue punya telinga buat dengerin semua keluh kesah lo. Gue juga punya bahu supaya lo bisa bersandar. Gue gak mau lo nanggung rasa sakit itu sendiri," tutur Arka.
Adira terenyuh mendengar penuturan Arka. Apa Arka adalah orang yang tepat untuk Adira menceritakan semua masalahnya. Kadang Adira juga memikirkan, kenapa selalu Arka yang ada di saat ia sedang terjatuh. Erland kemana? Bahkan, pesan yang semalam ia kirim pun belum dibaca. Jangankan dibaca, nomor cowok itu bahkan tidak aktif sama sekali. Adira kembali menatap Arka dengan tatapan sendu. Matanya memanas bersamaan dengan lapisan kaca yang akan retak dari pelupuk matanya.
"Gue boleh peluk lo?" tanyanya hati-hati.
Arka mengangguk dan merentangkan kedua tangannya.
"Peluk gue, lampiaskan semuanya ke gue. Asal jangan lo pendam sendirian."
Adira menghamburkan tubuhnya ke tubuh Arka. Ia menikmati betapa nyamannya berada di pelukan cowok bermarga Mahendra itu. Tapi, rasa nyaman yang ia dapat dari Arka tidak senyaman pelukan yang Erland berikan padanya. Adira terisak membuat Arka dengan ragu mengelus punggung gadis itu yang bergetar hebat.
"Sakit banget, Ka. Pengen mati aja rasanya," lirih Adira.
Arka melonggarkan pelukannya dan menumpukan kedua tangannya pada sisi kanan dan kiri bahu Adira. Ia menatap gadis yang tengah menundukkan wajahnya menandakan betapa lemahnya Adira sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laksana Hujan [completed]
Teen Fiction"Aku itu ibaratkan hujan, dan Erland adalah buminya. Hujan selalu kembali ke bumi meski telah dijatuhkan berkali-kali. Tapi, akan ada saatnya kemarau menggantikan hujan. Disaat itulah, hujan akan pamit pergi dari bumi. Ini adalah gambaran, dimana a...