"Good morning, calon ibu dari anak-anakku nanti!"
Arka, laki-laki itu duduk di samping Adira yang tengah membaca novel di perpustakaan sekolah. Sepertinya, gadis itu memang sengaja berangkat lebih pagi agar bisa pergi ke perpustakaan terlebih dahulu.
"Ya ampun, tatapannya gitu amat. Bercanda, Ra. Serius banget, lama-lama gue seriusin tau rasa lo hehe," goda Arka. Laki-laki itu menatap wajah Adira yang sama sekali tidak terdapat raut bahagia. Yang ada hanyalah sebuah kekosongan.
Oh ya, Arka melupakan sesuatu. Dunianya Adira sedang tidak baik-baik saja. Erland sedang terbaring koma. Mungkin itulah yang menjadi alasan kenapa Adira seperti tidak memiliki semangat untuk menjalani hari-harinya.
"Kenapa diem aja sih, Ra? Gue dicuekin nih?" Arka menampakkan wajah memelas membuat fokus Adira tertuju padanya.
Gadis itu meletakkan novel yang tadi ia baca.
"Pagi juga Arka. Udah, kan?""Hehe, kepaksa gitu. Tapi nggak papa deh. Btw, lo udah sarapan belum?" tanya Arka.
"Udah," jawab gadis itu singkat.
Arka mendekati posisi Adira, menatap dalam manik mata hitam legam mencari titik kebohongan di mata indah itu. "Gue menemukan kebohongan di mata lo. Lo belum sarapan, kan? Bohong dosa loh, Ra."
"Gue nggak bohong." Adira memalingkan wajahnya.
"Yakin? Berarti tante Lastri sama bang Andra yang bohong?"
Adira menatap Arka dengan kening yang berkerut heran.
"Iya, soalnya mereka bilang lo belum sarapan. Mereka minta tolong ke gue temenin lo sarapan di sekolah. Yuk, sarapan!" ajak Arka.
"Nggak mau," tolak Adira.
"Kenapa?"
"Gue nggak mood makan."
"Kalo lo sarapan sama gue, percaya deh pasti lo makan banyak nanti," ujar Arka dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi.
"Kok bisa gitu?"
"Ya bisa lah, gue kan Arka. Apa sih yang Arka nggak bisa? Apalagi buat Adira."
Arka tersenyum menggoda Adira sehingga membuat gadis itu tersenyum malu-malu. Wajahnya yang sedari tadi muram kini terlihat lebih cerah. Tercipta senyuman di bibir Adira walaupun sangat tipis, itu sudah membuat Arka menghela nafas lega.
"Muka lo merah kaya kepiting rebus. Gemes, pengen gue milikin tapi nggak akan bisa, ya?"
"Ka--"
"Udah ayok sarapan, nanti keburu masuk."
°°°
"Makan yang banyak, Ra. Jangan banyak ngelamun nanti makanannya nangis," tutur Arka.
Arka menatap Adira yang sedari tadi hanya mengaduk-aduk sepiring nasi goreng tanpa berniat untuk memakannya. Arka berdecak kesal karena gadis itu tetap saja melamun tanpa memperdulikan ucapannya.
Akhirnya, Arka menemukan sebuah ide cemerlang. Laki-laki itu mengambil alih sendok yang dipegang oleh Adira berniat menyuapi gadis itu.
"Heh!" Adira tersadar dari lamunannya karena sebuah sendok yang tepat berada didepan mulutnya.
"Makan!"
Mau tidak mau Adira menerima suapan dari Arka lalu mengambil alih kembali sendoknya. Ia kemudian memakan makanannya sendiri dengan perlahan.
"Nggak usah segitunya, Ka. Malu diliatin sama yang lain. Gue juga bisa makan sendiri tanpa lo suapin," ungkap Adira. Pandangannya kini tertuju pada seisi kantin yang menatap kearahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laksana Hujan [completed]
Teen Fiction"Aku itu ibaratkan hujan, dan Erland adalah buminya. Hujan selalu kembali ke bumi meski telah dijatuhkan berkali-kali. Tapi, akan ada saatnya kemarau menggantikan hujan. Disaat itulah, hujan akan pamit pergi dari bumi. Ini adalah gambaran, dimana a...