28

123 34 18
                                    

Selamat membacaa
Semoga suka

°

Pagi ini teras rumahku sudah kedatangan seseorang yang tujuannya menghampiriku. Dia duduk di kursi bersebelahan dengan Rizki, adikku itu. Sedari tadi mereka berdua saling ngobrol.

"Masa dari kemaren, hampir tiga harian bang Fian nebeng kak Febby mulu sih?" heran Rizki sambil memakai kaos kakinya.

"Ngurusin amat sih,ki," heranku yang berdiri dipintu memandangi mereka berdua.

"Kakak juga nyahut mulu, bleweee," balas Rizki lalu mengulurkan lidahnya mengejek.

"Berangkat aja yuk, yan! Susah ngeladenin Rizki." Aku berjalan mendahului Fian ke garasi. Dia masih duduk sebentar di sebelah Rizki tadi.

"Kak Febby! Ini bukunya ketinggalan dimeja makan!"

"Titipin Fian aja tuh!" teriakku tanpa berbalik badan.

Mau balik lagi ke Rizki kan males banget. Sedangkan Sasa dia lagi baru keluar sambil bawa buku milikku. Untung masih ada Fian di sana yang belum berjalan. Alias baru berdiri.

Ngomong-ngomong tentang omongan Rizki, memang dari tiga hari yang lalu Fian nebeng denganku. Kalau biasanya aku yang nebeng naik motor Fian, sekarang dia yang nebeng pakai motorku tapi tetap dia yang di depan.

Sejak hari Senin itu, yang jalan kaki ke warung mie ayam, nah sejak itu aku berusul kalau pakai motorku aja. Soalnya dia bilang kalau motornya di bengkel. Padahal awalnya aku ngira dia memang mau ngajak berangkat bareng naik bus.

"Kamu tau nggak Feb? Sebenarnya dari bangun tidur aku tuh kesel banget," ujar Fian yang sudah mengendarai motor dengan aku dibelakangnya.

Aku menatap wajahnya lewat spion. "Kesel kenapa?"

"Sumpah ya, ini bener-bener bang Mamat lagi gak bisa dipercaya. Di-   "

"Kenapa ih?" Aku menunggu dia cerita.

"Dia janji motorku bisa di ambil nanti sore tapi tadi pagi dia telepon katanya belum selesai. Kan kesel, Feb." Adunya sambil mengerucutkan bibirnya. Kalau di depan mukaku dia begitu, bisa aku tampol bibirnya.

"Aish, gitu doang juga," ujarku mendecak sebal.

"Kalo belom selesai kan aku jadi nebeng kamu terus, kemaren aja udah digosipin Bu Dewi pas berangkat kan. Ini untung aja kita pagi-an jadi belum ketemu tukang sayur komplek," jelas Fian.

"Nih ya, gak masalah kamu pakai motor aku. Ayah juga gak masalah, dia malah seneng motornya aku pake, dulu-dulu kan gak pernah aku pake. Malah Rizki yang sering pake," ujarku.

"Tetep aja gak enak, Febby."

"Kamu pasti mikir gak enak gitu karena Rizki ya?"

"Enggak." Dia menggeleng.

"Yaudah."

Fian menghela napas setelah aku bilang yaudah. Dari hati yang paling dalem, aku emang gak masalah banget kalau begini. Ayah malah nyuruh begini terus, soalnya motorku jadi kepakai.

Katanya daripada dipake Rizki yang juga belum cukup umur, Ibu juga gak mau Rizki jadi telat pulang kalau main jauh pakai motor.

"Feb, tolong liatin dong siapa yang telepon," ucap Fian masih sambil mengendarai motor.

"Handphone kamu di mana?" tanyaku.

"Di dalem tas."

Tanganku langsung membuka tas Fian. Berwarna hitam dan kecil. Hanya ada satu buku tulis di dalam sana dan selembar kertas yang mungkin tulisannya materi singkat.

My Neighbor is Mine [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang