Selamat membacaa
Semoga suka°
"Permisi Mbak, Mas, jangan berantem di sini ya."
Aku tersenyum malu, Mora dan Gery justru saling bertatapan dan menatap dengan raut wajah masing-masing yang berbeda.
"Maaf, Mas, bukan berantem kok. Lagi diskusi aja. Hehe," ujarku pada masnya yang jual bubur ayam ini. Dia yang negur memang.
Masnya langsung pergi ke gerobaknya lagi. Sedangkan aku, kini ditatap dua orang di depanku. Bukan salah lagi, aku salah bicara tadi di situasi seperti ini.
"Ya, maaf-maaf deh," ucapku.
"Gue gak punya alasan buat suka sama lo, gue kira juga lo kayaknya gak butuh alasannya karo semisal ada," ucap Gery sambil menatapku.
"Tapi gue yakin lo punya alasan kenapa di saat lo tau Febby udah punya Fian, lo masih suka sama dia. Kenapa lo gak mundur aja, gue yakin lo punya alasan untuk itu," ujar Mora dengan pandangan matanya lurus ke depan.
Aku menyimak sambil makan lagi, berhubung bubur kalau dimakan kelamaan pasti gak enak, ya aku terus makan aja walau situasi kayak gini.
"Sama aja. Gak ada alasan untuk itu. Yang berhak nentuin perasaan gue ya gue sendiri. Bukan orang lain," balas Gery yang melirik Mora sesekali dalam bicaranya.
Tentu saja Mora mendengus tapi pelan. Dia juga masih makan.
"Gue, masih lo anggap orang lain? Lo kenal gue kenapa lo anggap gue orang lain terus?!" kesal Mora.
Aku hanya mengangguk-angguk. "Lo punya seseorang yang lo sayang banget gak sih?" tanyaku ragu.
"Privasi." Satu kata keluar dari mulut Gery dengan nada datar, sangat datar. Sejak pertama bertemu aku juga sudah mengira kalau anak ini menjaga sekali privasinya.
"Oke. Gue tau dan gue paham," balasku.
"Kita berdua udah sering ketemu, Ger. Bahkan mungkin setiap hari. Tapi itu semua apa? Lo masih nganggap gue orang lain di saat gue yang nganggap lo spesial," ucap Mora datar.
Sudahlah, Mora tidak mungkin menangis untuk hal seperti ini. Aku tau itu, dulu waktu dia diputusin pacarnya untuk pertama kalinya juga dia gak nangis. Bahkan gak kenapa-kenapa.
Tapi di sini aku yang gak tega sama Mora. Aku yang kesel pake banget sama Gery.
"Emangnya gue harus nganggap lo apa, selain orang lain. Gue gak tau lo, gue gak tau kehidupan lo, gue gak pernah main sama lo. Kita cuma sekedar ketemu doang," kata Gery tanpa menatap Mora. Pandangannya lurus.
"Udahlah, Mor. Gak ada untungnya ngomong sama Gery," ujarku.
"Harus, gue nganggap lo sebagai temen?" tanya Gery menatap Mora beserta aku bergantian.
Kenapa gue ikut ditatap juga? Batinku.
"Nggak, yaudah lo sana balik aja. Kita bukan temen jadi ngapain lo masih disini. Gue juga gak nganggep lo temen kok," ucapku kesal.
Sakit hati lah, di saat kita nganggap seseorang itu sebagai teman tapi orang itu justru menganggap kita sebagai orang lain. Aku aja yang gak ada perasaan sama Gery bisa sakit hati. Apalagi Mora coba.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Neighbor is Mine [TAMAT]
Fiksi Remaja♥FOLLOW DULU SEBELUM BACA♥ --- Kisah cintaku berawal dari air mineral yang kata dia ada manis-manisnya kayak aku. "yang, eh, yan. Aduh. Air mineralnya yang itu satu dong." Baru aja sampe dah salah ngomong aja aku. "Gapapa. Panggil sayang aja juga...