37

85 30 35
                                    

Selamat membacaa
Semoga suka

°

Tak mempedulikan suara tapakan kakinya saat berlari, Febby dan Fian acuh saat beberapa kali guru dari dalam ruangan ujian keluar berdiri di pintu untuk menengok suara bising. Kini Febby berlari lebih lagi mendahului Fian.

Febby buru-buru melepas sepatunya untuk masuk ke dalam perpustakaan yang pintunya masih tertutup rapat. Dia meletakkan sepatunya sembarang.

Itu membuat Fian yang baru sampai dan sedang membuka sepatunya menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian mengambil sepatu Febby juga untuk ditata di rak sepatu.

Febby sudah masuk, kini Fian memegang gagang pintu dan mendorongnya. Setelah ia masuk, ia menutup kembali pintunya dengan rapat. Hal pertama yang dilihatnya tentunya rak-rak buku. Aroma perpustakaan juga dapat ia rasakan.

"Hufftt, Mor, Moraa." Febby duduk lemas di sebelah Mora sambil ngos-ngos an.

"Pas banget lo datengnya," ucap Mora sambil menepuk pundak Febby.

"Eh, bentar-bentar. Yan, Fian!" seru Febby setelah minum air yang dibawanya.

Fian menghampiri Febby dan Mora. Di tengah jalannya ia menoleh ke Gery sambil berjalan melewatinya. Entah sengaja atau tidak, Gery memilih tempat duduk yang berhadapan dengan Mora meskipun kursi lain masih kosong.

"Kenapa dia di sini?" tanya Fian yang ikut duduk bersama Febby dan Mora.

Mora menarik napasnya. "Lo gak usah cari masalah ya, yan. Gue gak tau kenapa dia di sini. Dari tadi aja nggak gue tanggapin soalnya gue kan bukan siapa-siapanya juga," ujar Mora menjelaskan.

Fian memicingkan matanya, ia heran juga bingung. "Bukannya lo suka sama dia ya?" ucapnya.

Ucapan Fian langsung mendapat tampolan di pantat dari Febby yang menatapnya. Fian menatap balik Febby dengan raut wajah bertanya. Tentu bingung karena tiba-tiba ia ditampol begitu.

Tiba-tiba Febby menggeleng-gelengkan kepalanya, masih menatap Fian. "Aku ceritain nanti aja," katanya. "Mor, solusi terbaiknya lo keluar aja dari sini. Ikut gue sama Fian juga gapapa," ucapnya menatap ke Mora.

"Kenapa gue jadi ngikut lo berdua?" protes Mora.

"Hadeuh, Moraa. Gue juga ada urusan sama Fian makanya dateng ke sekolah. Lagian lo juga ngapain sih ke perpus." Febby membuang napas.
"Gue lagi nyari info tentang kuliah di luar negeri," balas Mora pelan. Kepalanya menunduk dan tangannya terlipat di atas meja disebelah laptopnya yang menyala.

"Kalo gitu ngapain lo nyari disini? Nyari Wi-Fi gratis ya?" heran Fian menimbrung.

Lagi-lagi Febby menepuk Fian, kali ini lengan yang menjadi sasaran tepukan Febby. "Bener, Mor?" tanya Febby.

"Heh, Fian! Dirumah gue juga ada tuh Wi-Fi, gue gak nyari yang gratisan ya," sewot Mora menatap Fian memusuh.

Febby mengangguk-angguk. "Terus kalau bukan itu, ngapain lo ke sini?" heran Febby.

"Gue males dirumah, Papa sama Mama lagi dirumah. Bukannya jadi istirahat malah gue di suruh belajar lagi," ujar Mora.

Febby dan Fian saling pandang. Mereka cukup paham apa yang dikatakan Mora. Sebenernya Mora bukan anak broken home, orang tuanya masih bersama. Tapi terkadang rasa sayang yang diberikan orangtua nya ke anaknya itu berbeda-beda. Mungkin Mora lebih merasa bahwa rasa sayang yang diberikan padanya itu terlalu berat baginya.

My Neighbor is Mine [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang