SEORANG bocah perempuan bersurai panjang berlarian ke luar rumah dengan kanvas berukuran sedang dalam dekapan. Seulas senyuman manis terpatri diwajah dengan indahnya, beberapa helai rambut terbang saat angin berhembus nakal.
Mata Alisa bergerak, menyapu sekitar mencari-cari keberadaan Satya yang—memang sedari awal menjadi tujuan utamanya. "Papa! Ini, lihat hasil lukisan ku!" seru Alisa begitu menemukan sosok sang ayah, Alisa berlari tergopoh-gopoh menghampiri laki-laki jangkung itu.
Seluas senyuman kecil terukir pada wajah, kepala Satya mengangguk-angguk menilai hasil lukisan Alisa dengan gaya bak seorang kritikus ternama. "Bagus banget! Kamu punya bakat," pujinya, membuat pipi gembul Alisa merona, gurat bahagia tak mampu ia sembunyikan, tangan besar Satya terulur menepuk bangga puncak kepala si sulung. Ah, ternyata perjuangan kerasnya selama belajar melukis tidak berujung sia-sia, semuanya telah terbayarkan. Terbayar lunas karena Papa sudah mengakui Alisa!
"Kalau gitu aku mau latihan lagi! Papa ajarin, ya? Aku pengen jago lukis," ucap Alisa tulus, gadis itu tersenyum manis, menatap Satya penuh harap. "Seperti Papa!"
"Kapan-kapan aja ya, Nak, Hanan lagi rewel banget." Laki-laki itu beralih menatap Hanan yang sedang asik bermain puzzle, terbesit sedikit rasa bersalah, mau tidak mau Alisa harus mengangguk mengerti.
"Ya sudah, Alisa masuk dulu."
Alisa melangkah memasuki rumahnya, entah kenapa ucapan Satya tiga tahun lalu kembali berputar-putar mengitari kepalanya. "Papa 'kan udah bilang kalau Papa sama Mama bakal sayang terus sama Alisa."
Bohong sekali jika dipikir-pikir. Jika Satya memang menyayanginya, seharusnya dia mau meluangkan waktu untuk dirinya, tapi apa? Semuanya waktunya hanya untuk Hanan, Hanan, dan Hanan. Seluruh warna-warni dalam hidup Alisa seakan memudar, hanya tersisa warna netral. Nyatanya rasa sayang itu sudah terbagi, Alisa benci itu. Segala bayangan buruk yang Alisa harap tidak akan pernah terjadi malah menjadi kenyataan.
Alisa merebahkan tubuhnya pada permukaan kasur, matanya terpaku pada pemandangan di luar jendela. Di sana kedua orangtuanya tengah asyik bermain dengan Hanan, tentu tanpa dirinya. Alisa membenarkan posisi tidurnya, memeluk erat kanvas hasil lukisannya ditemani buliran-buliran air mata yang terus menetes dengan deras.
Alisa itu cengeng, dia selalu cengeng jika sudah menyangkut keluarganya.
****
Mentari mulai menunjukkan sinarnya, cahayanya mulai menerobos masuk melalui celah-celah jendela. Alisa yang merasa terusik karena terpapar sinar matahari lantas terbangun dari tidurnya. Gadis kecil itu menguap sembari mengerjapkan kedua matanya berulang kali, menyesuaikan cahaya pagi yang masuk melalui indra penglihatan. Pandangan Alisa menyapu sekitar, menatap jam dinding yang tergantung pada sudut ruangan.
6.04 AM
Buru-buru Alisa bangkit dari tempatnya, bersiap untuk mengawali paginya di sekolah. Alisa mulai berjalan memasuki kamar mandi dengan sehelai handuk yang sengaja dia sampirkan pada bahu.
Tidak membutuhkan waktu lama. Alisa segera melangkah keluar kamar, tentu sudah lengkap dengan busana sekolah yang melekat rapi pada tubuh. Alisa berlari kecil menghampiri Satya dan Erika yang sedang asyik mengobrol ringan di ruang makan.
"Pagi, Ma, Pa," sapa Alisa sembari menyalami kedua orangtuanya.
"Pagi, Nak." Erika tersenyum.
Alisa mencomot roti isi yang telah disediakan di atas meja makan. "Udah siang nih, aku mau berangkat." Alisa hendak kembali melangkah, namun panggilan Erika berhasil menghentikan langkah lebarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THIS ABOUT ALISA
Teen Fiction"Lo tuh ibarat sakit gigi ya? Datang dan pergi seenaknya, tanpa bisa gue kontrol ataupun gue larang." Lahir dari rahim yang sama namun dibesarkan dengan kasih sayang yang berbeda membuat Alisa menaruh rasa iri pada adiknya, keadaan mendadak berubah...