'Lantas jika Alisa membenci Hanan, siapakah yang patut disalahkan?'
#
"ADA YANG bingung?" Erika menatap Hanan dengan wajah serius, membuat bocah itu merasa terintimidasi dan bergerak tidak nyaman di tempatnya.
Hingga beberapa detik berlalu, masih dengan sosok Hanan yang tetap diam di tempat, mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Bocah itu tampak menundukkan kepalanya ke bawah, berusaha menghindari tatapan sang ibu.
"Aku selesai." Suara Alisa membuyarkan suasana hening di dalam rumah, Atensi Erika bergeser pada Alisa. Dia menatap gadis berponi yang sedang menyodorkan kertas tanpa menunjukkan sedikit pun ekspresi diwajahnya, Erika menghela nafas. Alisa sekarang terlihat lebih banyak diam dibanding dulu, entah apa yang telah terjadi pada bocah berponi itu.
Erika menerima kertas tersebut dan segera menelitinya. "Hmm, yang ini salah." Erika meletakkan kertas di tangannya ke atas meja, memperlihatkan jawaban yang salah pada Alisa. "156 dibagi 3, kok bisa-bisanya kamu jawab 38?" Erika mencibir.
"Kamu itu udah diajarin metode pembagian bersusun belum sama guru kamu? Masa angka segini aja masih salah-salah."
Alisa mengeraskan rahang, menahan segala amarah serta kekesalannya. Kapan mamanya akan mengerti bahwa matematika itu terlalu menyeramkan bagi Alisa? Kenapa dia hanya bisa mencibir dan memaki? Alisa jadi penasaran, sehebat apa sih mamanya dalam berhitung.
Kini tiba giliran Hanan yang diperiksa jawabannya. "Sini, gantian Mama periksa punya kamu." Erika menjulurkan tangannya, membuat sang putra menghembuskan nafas panjang, mau tidak mau Hanan harus memberikan kertas berisi jawabannya dengan perasaan tidak rela. Hanan pikir dirinya akan habis saat ini juga.
Dan tiga, dua, satu--
Erika membelalak. "Ini salah semua Hanan! Astaga, nggak niat ya kamu?!" Hanan menunduk takut, sementara Erika sibuk memijat pangkal hidungnya sesekali melirik Hanan tajam. Memang sedari dulu Erika selalu sensitif jika sudah mengenai nilai.
"5 dikurangi 2 berapa?" Erika merendahkan nada bicaranya, berharap semoga Hanan dapat menjawab pertanyaannya dengan tepat.
Berbanding terbalik dengan ekspetasi, Hanan malah menggeleng pelan, bocah itu benar-benar tak mampu menjawab pertanyaan yang diajukan sang ibu, Hanan kesulitan untuk menjawabnya. Emosi Erika pun tersulut melihat respon yang diberikan oleh si bungsu. "5 dikurangi 2 berapa, Hanan?!" Erika berteriak saking gemasnya.
"E-empat?"
Brak!
Hanan dan Alisa terlonjak kaget mendengar suara keras gebrakan meja dari sang ibu. Hanan langsung menutup kedua matanya rapat-rapat, rasa takut berlebihan mendominasi hatinya. Erika terlihat sangat amat menyeramkan sekarang.
"Udah berminggu-minggu Mama ajarin kamu tentang materi ini, tapi kamu nggak paham-paham juga?!"
Erika menggeleng tak percaya, ia mencengkram kedua bahu kecil Hanan dan menguncangnya, seolah memberi isyarat agar bocah itu membalas tatapannya. "Kemarin-kemarin kamu dengerin Mama nggak? Jangan diam aja, jawab!"
"H-hanan dengerin M-mama." Tangis Hanan pecah, bocah itu menangis tersedu-sedu hingga wajahnya memerah. "Maafin H-hanan, M-ma, Hanan janji b-bakal berusaha l-lagi..."
"Ya udah, kerjain!"
Hanan beralih memandangi soal-soal di depannya, tertera sebuah soal bertuliskan '5 - 2 = ?' Hanan benar-benar pusing, otaknya seakan penuh. Dengan ragu Hanan menuliskan satu angka yang tiba-tiba melintas di otaknya yaitu, 5.
KAMU SEDANG MEMBACA
THIS ABOUT ALISA
أدب المراهقين"Lo tuh ibarat sakit gigi ya? Datang dan pergi seenaknya, tanpa bisa gue kontrol ataupun gue larang." Lahir dari rahim yang sama namun dibesarkan dengan kasih sayang yang berbeda membuat Alisa menaruh rasa iri pada adiknya, keadaan mendadak berubah...