Hukuman

1.8K 271 35
                                    

Matahari sudah meninggi, tapi Sia masih bergelung dengan selimut tebalnya dan enggan turun untuk sarapan, meski Mayang__sang bunda telah mengetuk kamarnya dua kali.

Dia sedang kesal.

Kesal pada seseorang yang ternyata adalah dirinya sendiri. Gara-gara perasaan bodohnya. Perasaan yang dia sematkan untuk seseorang, begitu lama.

"Harusnya aku nggak kayak gini. Ini salah. Tapi bagaimana cara mengakhirinya. Aku terlalu suka padanya." Sia sedang menyesali sesuatu yang sedang tumbuh di hatinya, untuk Sean. Anak sahabat papanya.

"Kak Sia!" gedoran di pintu, untuk ketiga kalinya. "Dipanggil Papa!"

"Iya, Al! Kakak akan turun segera."

Gedoran berhenti seusai Sia menutup mulutnya.

"Kalo dipikir-pikir, hidupku terlalu sempurna," katanya saat kaki telanjangnya mulai menapaki lantai marmer di kamarnya. "Aku harus sibuk. Entah sibuk apa, yang penting bisa lupain perasaan bodoh ini. Dan tidak ketemu dia hingga perasaan ini menghilang dengan sendirinya."

***
"Anak gadis kenapa tidur lagi setelah sholat subuh? Nggak boleh tahu, Rasulullah melarang itu. Pagi hari, rezeki sedang dibagi dan juga Rasulullah mendoakan secara khusus untuk para umatnya ketika pagi datang." Adik Sia yang baru saja menjadi penceramah. Namanya Muhammad Al Fatih, biasanya dipanggil Al.

"Al, jangan mulai ya?" Sia memprotes. "Ini hari ahad, jadi kakak hanya ingin lebih lama menghabiskan waktu di kamar. Lagian kakak juga nggak tidur, kok."

Wanita yang melahirkan kedua anak yang sedang berdebat di meja makan itu pun tersenyum. "Di kamar ngapain, Sayang? Apa tidak ada rencana main dengan Sukma atau adik kamu yang lain?"

Sambil mengolesi selembar roti tawar dengan selai coklat, Sia menjawab apa yang bundanya ingin ketahui. "Tidak ada, Bunda. Sukma dan Raga pergi sama Om Satria ke Bogor. Mengunjungi Tante Dena."

"Tumben, Kak Sia nggak ikut?"

"Kenapa memangnya? Nggak boleh?" lalu menyuapkan roti itu ke mulutnya. "Papa kemana, Bund?"

"Di halaman samping, sama Sean."

Uhuk Uhuk Uhuk

"Makannya pelan-pelan, Sia."

Sia masih terbatuk dan terlihat kesusahan dengan potongan roti di mulutnya itu. Lalu Mayang mengulurkan segelas air mineral untuk putri sulungnya.

"Kak Sia, akan selalu begitu jika mendengar nama Kak Sean," gumam Al teramat lirih.

"Bunda, aku boleh minta sesuatu nggak?" tanya Sia ragu. "Tapi, Sia nggak yakin sih, kalo Papa bakal ngebolehin."

"Memangnya Sia mau apa?"

"Bunda janji bantu Sia ngomong ke Papa, ya Bunda?"

"Tergantung apa dulu yang diminta," tukas Mayang.

"Rasanya bau keanehan tercium di sini," kata pelajar SMP itu. Tapi lagi-lagi itu hanya gumaman yang hanya bisa dia dengar sendiri.

Sia menunduk, lalu mengambil nafasnya dalam dan membuangnya perlahan. Ini hal besar baginya, jadi keberanian yang mesti dia pupuk harus sama besarnya.

"Kalo masa perkuliahan Sia sudah dimulai, Sia ingin tinggal di rumah kos saja, Bunda."

Pandangan Mayang pun seketika berpindah sempurna pada putrinya. "Maksud kamu apa, Sayang?"

"Tuh 'kan benar!" gumaman Al lagi. Lalu dengan santainya remaja tanggung itu menyuapkan nasi goreng ke mulutnya. Dia tak akan masuk ke dalam obrolan itu, jika tak ingin mendengar kakaknya mengatainya 'anak kecil'.

Romantic Rhapsody  ✔ TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang