Ibram bersiap tidur, mengenakan piyamanya yang berwarna hitam lalu menyusul istrinya yang lebih dulu masuk ke dalam selimut namun masih terjaga. Sedari tadi memang sepertinya Mayang sengaja menunda ritualnya membaca doa sebelum tidur, karena ada yang ingin dia bicarakan pada pria yang dulunya adalah atasannya itu.
"Papa udah ngantuk?" tanya Mayang.
"Masih bisa menahannya sambil mendengarkanmu bicara, Sayang," jawab pria itu tersenyum.
"Ih, kok papa tahu kalo bunda mau bicara?" Mayang mengulum senyumnya.
"Belasan tahun kita nikah, rasanya aku tetap menjadi satu-satunya yang lebih tahu kamu melebihi siapa pun. Aku akan dengar, bicaralah." Ibram memiringkan tubuhnya menghadap Mayang dengan satu tangan menyangga kepalanya dan satu tangan yang lain memainkan jemari istrinya.
"Soal Sia."
"Hmm?"
"Izinkan saja. Dia hanya ingin melangkah dengan kakinya sendiri, karena selama ini kalian terlalu memanjakannya. Tapi syukurlah, dia tak menjadi anak egois yang manja dan tukang perintah. Dia tetap rendah hati dan anak yang penurut."
"Itu karena kamu lah ibunya." Ibram masih mempunyai tatapan penuh cinta yang meluap untuk wanita yang berusia lebih tua darinya itu. "Kamu ibu terbaik."
"Begitukah? Jadi, apakah ibu terbaik ini akan diizinkan memberi saran?"
"Selalu boleh, karena pasti ada maksud baik di balik itu. Versi kamu seperti apa?"
Mayang menarik nafasnya dalam, seolah pikirannya jauh menerawang menembus mesin waktu. "Bunda dulu juga 'kan begitu. Berpikir untuk hidup sendiri tapi terasa mustahil jika meminta izin. Jangan sampai Sia berpikir sama dengan bunda dulu yang memilih kabur ke Jakarta."
"Maksud Bunda, dia akan kabur juga?" Ibram seketika bangkit lalu setengah berlari keluar kamarnya. Dalam benaknya sedang memutar reka adegan anak sulungnya kabur dari rumah. Hingga Mayang tak kuasa untuk menertawai tingkah konyol suaminya. Ibram memang begitu, sikap perhatiannya memang kadang menggelikan.
Lima menit kemudian pria itu masuk lagi ke kamarnya, melangkah dengan kelegaan yang terpancar di wajahnya. "Bunda ngagetin aja sih? Sia sudah tidur, kok."
Mayang tersenyum geli, "bunda tahu, tadi sudah ngecek ke kamarnya sebelum bersiap tidur. Lagian, bunda nggak bilang kalo dia kabur 'kan?"
"Sayangnya, papa langsung mikir begitu." Ibram kembali ke posisinya tadi, kali ini melipat kedua tangannya sebagai bantal.
"Sia, anak yang pintar. Dia tahu, andai dia beneran kabur, pasti seluruh negara ini akan diubek-ubek sama papa dan opanya buat nyariin dia."
Ibram malah tertawa, "karena ngebayangin dia lecet dikit saja aku nggak tenang. Makanya, rasanya aku ingin memastikan sendiri, dia selalu baik-baik saja."
Mayang memiringkan badannya menghadap Ibram, "jangan terlalu kuat menggenggamnya, nanti dia bisa patah dan justru melukaimu. Sesungguhnya manusia berjalan sesuai takdirnya, jangan merasa bahwa semua titipan ini punya kita. Cintai sewajarnya, boleh lebih tapi jangan lupa bahwa semua bukan kuasa kita. Biarkan Sia mengejar mimpinya, dan kita cukup mengawasinya dari jauh saja. Ada Allah, takut apa?"
"Bunda?" Ibram menghadap Mayang juga, "terima kasih udah mengingatkan bahwa sekeren apa Ibram Narendra, tetaplah manusia biasa."
"Sewa bodyguard terbaik."
"Istriku memang luar biasa."
"Kita manusia wajib berusaha, 'kan? Tapi jangan sampai Sia tahu bahwa dia diawasi dari jauh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Romantic Rhapsody ✔ TERBIT
RomantikSquel Mayang Senja Memiliki keluarga yang kaya raya sungguh membuatnya menjalani hidup nyaris sempurna. Hidupnya bak tak pernah ada kerikil sejak dia lahir hingga berstatus maba di sebuah kampus ternama. Hingga suatu pagi, putri sulung Mayang Senja...