"Jadi, Gina hamil anak Sandro?" tanya Zian pada temannya yang sedang berkutat dengan cairan pewarna tembok di sampingnya. Mereka sedang menjadi tenaga sukarela sebagai tukang cat di sebuah panti asuhan yang tengah merenovasi beberapa bagian bangunannya.
Keduanya sudah lama menjadi tenaga sukarela di sana selain sebagai donatur juga. Ini hari minggu ketiga, adalah jadwal kunjungan mereka ke sana.
Sean mengangguk lalu mulai memoles dinding di depannya, diikuti Zian. Perlahan warna biru mulai menutupi warna dasar dinding yang kemarin telah dioles oleh pak tukang lebih dulu.
"Oke. Gue cukup terkejut, dan masih nggak percaya," tambah Zian. "Tapi kenapa Gina nolak gitu saat Sandro mau tanggung jawab?"
"Mana gue tahu."
"Jadi apa yang sebenarnya lo tahu?"
"Sebatas Gina hamil anak Sandro. Sudahlah, kenapa jadi ghibah? Lo sendiri sama Risa gimana?"
Tangan Zian berhenti bergerak lalu menurunkan kuasnya dan memasukkan ke kaleng cat. "Gue udah lama nggak ketemu dia. Dia pinter banget nyari jalan supaya nggak pernah ketemu gue lagi. Padahal harusnya gue yang marah, tapi dia yang menghilang dan seperti sedang marah sama gue. Harusnya sesekali ada ketidak sengajaan yang membuat kami bertemu 'kan? Masih kuliah di kampus yang sama tapi nggak pernah papasan."
"Lo apain dia emang? Kenapa semarah itu?" Sean masih terus melanjutkan pekerjaannya. Tak seperti Zian yang malah duduk berselonjor di lantai dan tak peduli meski celananya akan kotor oleh debu semen yang menempel pada lantai.
"Entahlah. Gue apain, ya? Disebut apa jika gue memakinya saat gue tahu profesinya. Lo pernah dengar rumor itu 'kan?"
"Ayam kampus?"
Zian mengangguk meski Sean memunggunginya. "Gue nyesel setelah hari-hari gue sepi tanpa dia. Nggak ada dari mantan cewek gue yang sepengertian dia. Hatinya baik dan lembut. Tapi masak iya gue diem aja waktu gue pergoki dia jalan sama om-om."
"Terus dia ngomong apa?"
"Nggak ada. Tak sepatah kata pun dia balas makian gue. Sampai sekarang, dia masih tinggal di hati gue, Sean. Satu-satunya."
"Misal dia masih menjalani profesi itu, lo gimana?"
"Nggak tahu. Tapi yang pasti gue ingin mendengar alasannya. Tau nggak saat kapan gue sadar kalo gue salah besar karena telah ngehakimin dia?"
"Emang kapan?"
"Waktu gue nggak sengaja nimbrungin adek gue nonton drama. Gila nggak tuh? Cerita yang ditonton adik gue tuh, tentang cewek yang masuk ke dunia kayak Risa itu karena dijual keluarganya buat bayar hutang keluarganya. Saat itu gue sadar, gimana kalo Risa juga kayak gitu? Dia korban juga, tapi gue maki-maki dia sekasar itu. Makin buruk lagi saat dia nggak ngebalas satu patah kata pun dan pergi gitu aja."
"Dan belum ketemu lagi sampai sekarang?"
"Iya. Tolongin hati gue yang menggalau ini, apa obatnya? Itu juga sebabnya gue belum pengen skripsi, setidaknya gue tunda tahun depan."
Sean menghela nafasnya dalam lalu mendekati sahabatnya itu. "Selesaiin dulu tugas kita, baru kita bahas hati lo."
"Ajakin gue ke kos itu lagi." Zian merengek.
"Kita tadi abis dari sana. Setidaknya tunggu besok atau lusa."
"Emang lo nggak pengen ketemu maba itu lagi?"
Sean tersenyum. "Dia nggak akan kemana-mana ini. Suka, nggak berarti harus selalu ketemu, 'kan? Kalo serius suka, gue seriusin doa gue buat dia. Barangkali doa juga bisa jadi solusi buat masalah lo ini. Rayu Tuhan lo, minta ketemuin lo sama dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Romantic Rhapsody ✔ TERBIT
RomanceSquel Mayang Senja Memiliki keluarga yang kaya raya sungguh membuatnya menjalani hidup nyaris sempurna. Hidupnya bak tak pernah ada kerikil sejak dia lahir hingga berstatus maba di sebuah kampus ternama. Hingga suatu pagi, putri sulung Mayang Senja...