"Tumben, semua anak panah antum meleset? Bahkan jauh dari sasaran. Ada apa?" tanya seorang pria paruh baya dengan badannya yang penuh tatto, berpeci dan celana panjang di atas mata kaki. Lawan bicaranya adalah pemuda berambut gondrong yang sejak satu jam lalu berkutat dengan busur panahnya.
Saat ini Sean dan adik-adik satu grub-nya sedang mengaji rutin di sebuah pondok pesantren yang dibina oleh pria paruh baya yang biasa dipanggil Bang Tatto itu.
"Pikirannya lagi nggak di tempat, Bang." Bukan Sean yang menjawab, tapi Rangga. "Saya saja sudah ngerasa aneh sejak kami berangkat tadi. Kak Sean senyum-senyum sendiri sambil nyetir. Beruntung kami nggak masuk parit."
"Siapa yang senyum-senyum sendiri?" Sean merasa tak setuju dengan pernyataan Rangga yang juga sama dengannya, sedang belajar memanah.
Sedangkan Raga, Al, Jordy dan Bima sedang menaiki kuda di pacuannya. Tak jauh dari tanah lapang yang sedang mereka pijak.
"Jatuh cinta pasti!" Arsa berbisik di telinga Rangga.
"Sok tahu!" Rangga menoyor kepala Arsa.
Lalu kedua pemuda itu dirangkul oleh Sean. "Kalo berbisik itu jangan sampai telinga orang ketiga bisa mendengar yang sedang kalian bicarakan." Ketiganya lalu duduk di saung kecil yang terletak tak jauh dari sana. Bang Tatto sudah lebih dulu duduk di tengah-tengahnya.
"Benar itu, Sean?"
"Benar apanya, Bang?"
"Antum jatuh cinta?"
"Jangan dengar apa kata mereka, Bang. Mereka emang suka mengada-ngada."
"Wajar saja, andai itu benar. Tapi jangan biarkan setan menyertainya. Halalkan saja. Apa perlu abang bantu?"
Sean tersenyum. "Bukan hal yang seperti itu, yang mengganggu saya hari ini. Tapi emang lagi ada yang disemogakan. Nunggu lulus dulu, Bang."
"Pulang, yuuuuk!!" seru Sukma dari kejauhan, dia tengah berdiri di beranda rumah dengan seorang wanita paruh baya di sampingnya.
Semua pria menoleh pada adik perempuan satu-satunya yang mereka punya itu.
"Si Inces udah berkacak pinggang. Ayo pulang, sebelum dia ke sini dan mengomel karena sandalnya kena tanah." Arsa mengulurkan tangan pada pria yang mengajar mereka mengaji sedari kecil itu.
Bang Tatto menyambut Arsa lalu bergantian dengan Sean dan Rangga. "Tumben Sia nggak ngaji?"
"Kak Sia lagi sibuk sama ospeknya, Bang. Biasalah, dikerjain gitu sama kakak tingkatnya." Rangga menjawab dengan suka rela.
"Woi!!! Ayo balik!" Arsa berseru pada Raga dan yang lainnya yang sedang menunggang kuda. Jika tak ingin mendengar rengekan Sukma, maka mereka harus betgegas.
***
"Kita makan es krim dulu, 'kan?" tanya Sukma antusias. "Kak Sean yang traktir, 'kan?""Iya, Sukma. Sejak berangkat ngaji itu mulu yang kamu minta. Emang belum kenyang? Tadi sudah makan sama Nyai, 'kan?" Jordy yang duduk di belakangnya memprotes sambil memainkan game di ponselnya. "Yah ... Gue mati!"
"Innalillahi," timpal Arsa.
"Sa, yang mati bukan Jordy. Kenapa innalillahi?" Sukma melihat Arsa yang juga sedang melakukan apa yang Jordy lakukan.
"Jordy tadi bilang 'gue mati'. Ya, gue bilang gitu, Sukma. Aduh ... Gue mati juga, 'kan!"
"Innalillahi." Semua mengatakan itu bersamaan hingga Arsa malah tergelak.
"Saudara gue emang kompak. Duh ... Mendadak laper. Kak Sean, traktir makan juga, ya? Kayaknya Kakak lagi bahagia hari ini, jadi buat kita bahagia juga dengan traktir kita makan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Romantic Rhapsody ✔ TERBIT
RomanceSquel Mayang Senja Memiliki keluarga yang kaya raya sungguh membuatnya menjalani hidup nyaris sempurna. Hidupnya bak tak pernah ada kerikil sejak dia lahir hingga berstatus maba di sebuah kampus ternama. Hingga suatu pagi, putri sulung Mayang Senja...