Garis Finish

1.4K 248 28
                                    

Di kamar bernuansa pink, Ibram dan Mayang sedang menunggu puteri pertama mereka yang katanya akan mengajak kedua orang tuanya bicara. Keduanya sedang duduk di sofa sambil mengamati Sia yang sedari tadi mengambil nafas panjang untuk meredakan gugupnya.

"Sia, dari tadi tarik nafas panjang terus, kapan ngomongnya? Papa malah jadi ikutan gugup," tukas Ibram.

"Bunda, bantuin ngomong ke papa." Sia merasa tak sanggup, sudah berusaha tapi rangkaian kata macet di tenggorokan. Mungkin dia sudah tahu jawaban apa yang akan papanya berikan. "Kata-katanya nggak keluar ini," rengek si pemilik kamar.

"Papa makin penasaran. Apaan sih, Bunda?" Ibram menggeser duduknya hingga menempel pada Mayang lalu merangkul bahu istrinya.

"Sia mau izin untuk tinggal di kosan," kata Mayang terus terang. Ini lebih baik, biar dia segera tahu respon pria di sampingnya itu seperti apa.

"Apa maksudnya ini? Kos?"

"Iya, kayak Bunda dulu," jawab Mayang santai.

"Kenapa? Dari mana Sia berpikir hal yang kurang kerjaan kayak gitu? Siapa yang bujukin?" Ibram membuat ini tak mudah. Pastinya seperti itu, Sia adalah permata hatinya. Tuan puteri di istananya. Selama ini gadis itu dibesarkannya dengan segala yang terbaik. Tentu bayangan kehidupan anak kos telah memperkeruh isi kepalanya. "Tidak! Papa nggak kasih izin."

"Pa ..." Sia hendak memprotes keputusan yang diambil Ibram. "Sia cuma mau---"

"Mau apa? Sia dapat pikiran itu dari bujukan siapa?"

"Dari Sia sendiri, Papa. Sia ingin mandiri."

"Terus pisah dari kami?" Ibram nampak masih sama. Keberatan.

"Sia mau menyamar. Tolong papa izinkan ya? Ayolah Pa, Sia ingin tahu gimana caranya dapat uang dengan keringat sendiri, karena nama Papa dan Opa nyaris tak membiarkan Sia berjalan di jalan berlubang. Hidup Sia terlalu sempurna."

Ibram berdiri, mungkin dia siap untuk meledakkan amarah atau hal semacamnya kepada anak gadisnya yang bernama asli Annisa Syafeeya Maryam itu. Tapi, tangannya keburu diraih dengan begitu lembut oleh bidadarinya, Mayang Senja.

"Pa, duduk dulu. Dengarkan Sia, marahnya simpan dan boleh dikeluarkan bila dirasa perlu. Tapi nanti kalo Sia udah selesai bicara." Mayang bertutur lembut dan inilah kelemahan CEO itu. "Anak kita punya keinginan, kita dengarkan dulu. Ayo duduk lagi. Nanti kalo memang alasan Sia mengada-ngada, Bunda akan bantu Papa buat marahin dia."

Nafas Ibram yang tadinya memburu, kini sudah teratur dan akhirnya bersedia duduk ke tempatnya semula. Ibram memang hanya takluk dengan wanita lembut bernama Mayang Senja itu.

Sia tersenyum pada sang bunda sebagai tanda terima kasihnya.

"Buat papa mengerti." Ibram menatap Sia, "tapi jangan bujuk papa kalo kiranya ini nggak masuk akal."

Ini giliran Sia, ini kesempatannya. Pria dewasa yang menganggapnya Tuan Putri ini tak akan mudah dibujuk.

"Akhir-akhir ini, Sia ngerasa hidup Sia terlalu sempurna. Kalian berikan segala yang terbaik dari semua yang terbaik di dunia ini. Kalian dan juga semua orang yang berada di sekeliling Sia di sepanjang umur hidup Sia. Opa dan Oma, semua Tante dan Om, juga adik-adik Sia. Hingga timbul perasaan ingin membuat diri Sia berguna bagi diri Sia sendiri, buat Papa dan Bunda bangga, karena Sia nggak selamanya akan memiliki kalian. Setidaknya, Sia mau belajar sesuatu yang bisa membuat diri Sia sendiri berguna dan bisa. Kadang, pengen tahu juga rasanya menabung untuk membeli sesuatu yang Sia pengen dengan usaha Sia sendiri. Teman-teman Sia di sekolah dulu sering bicara seperti itu."

"Sia juga bisa lakukan itu, membeli apa yang Sia mau dengan uang tabungan Sia. Kan Sia punya tabungan, kenapa harus kerja dan tinggal pisah dari kami?" Tuh kan, nggak mudah. Ibram tak akan semudah itu mengiyakan permintaan puteri sulungnya.

Romantic Rhapsody  ✔ TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang