Epilog

2.5K 275 148
                                    

Apa yang terjadi hari ini? Mimpikah? Tidak. Nyatanya setelah Dion yang keluar ruang operasi dengan baju hijaunya, tangis pecah dan wajah-wajah tertunduk lesu terlihat dari semua orang yang menyayangi Sia. Tak hanya sepasang orang tua gadis itu yang berduka, tapi hampir semua pasang mata yang mendengar penjelasan Dion kini telah basah.

"Sia selamat. Tapi ... kemungkinan tubuh bagian bawahnya tidak bisa digerakkan. Peluru itu telah merusak syaraf di tulang belakangnya." Dion mengatakan itu pada Ibram tadi.

Tak bisakah waktu diulang kembali? Ibram menanyakan itu pada istrinya yang tengah menangis di pelukannya. "Dia akan kehilangan senyumnya jika tahu hal ini," tambahnya. Air mata pria matang bertubuh tinggi dan berparas rupawan itu jatuh kian deras bahkan terisak. "Aku gagal menjaganya, Yang."

Mayang mendongak dan menyeka air mata pria yang begitu menyayanginya itu. "Allah sedang sayang sama kita, Mas. Sedang sayang Sia kita. Jika dia kehilangan senyum, maka kita akan menemukannya kembali. Bahu kita ada untuknya, dan Allah memilih bahu ini," kata Mayang sambil menepuk bahu suaminya, "adalah bahu yang bisa menjadi sandaran kami."

"Yang ... Harus bilang apa kita, ketika dia bangun nanti?" tanya Ibram.

Mayang menggeleng. "Kita habiskan air mata kita dulu agar nanti saat dia bangun, kita tak akan lagi menangis di depannya." Mayang melingkarkan kedua tangannya pada pinggang suaminya. "Kita jangan lupa bersyukur, Mas. Bahwa yang hilang hanyalah kemampuan berjalannya, sedangkan putri kita masih ada bersama kita. Seperti halnya dulu kita mengajarinya berjalan, kita akan ulangi lagi masa itu."

Ibram mengecup puncak kepala istrinya, "terima kasih, Bidadari. Sia akan baik-baik saja, karena memiliki bunda yang hebat sepertimu. Yaa Allah, kuatkanlah kami. Kuatkan Sia kami."

Al yang sedang memeluk Albert di kursi tunggu melihat kedua orang tuanya dalam tangisnya yang tak bersuara. Di samping mereka, ada Bima yang memeluk Indah dengan kesedihan yang sama.

"Sia akan sembuh. Kalian jangan sedih begini." Albert mengerjap agar air matanya tak tumpah. Dia sedih. Sangat. Tapi demi Mayang putrinya yang kini tengah rapuh, semampunya dia tahan rasa sakit yang meremas hatinya.

"Sia sakit, Ayah. Bagaimana kami tak sedih. Harusnya kami datang ke sana dulu tadi." Bima menangis lagi, dengan air mata yang seolah tak mau berhenti turun.

"Kamu sudah melakukan yang terbaik, Gendut!" Albert menepuk bahu putranya. "Kita harus semangatin Sia. Dia akan bisa jalan lagi. Ayah akan cari dokter terbaik yang ada di dunia ini untuknya."

"Apa Ayah bisa dipercaya, Bu?" tanya Bima pada Indah. Wanita tua itu lalu tersenyum dan mengeratkan pelukannya pada putranya tapi matanya menatap teduh pada suaminya, yang sangat dia tahu seberapa kuat dia menahan tangisnya.

"Tentu. Selama ini sejauh dan sesulit apapun tujuannya, dia tak pernah berhenti mengupayakannya. Ibu pernah berpikir bahwa di usia ibu, adalah mustahil untuk memilikimu. Tapi tidak dengan ayahmu, selama mulut dan tangannya masih bisa dia gunakan untuk berdoa, maka dia tak akan berhenti dengan diiringi ikhtiar terbaik darinya. Pasti untuk Sia pun demikian, Sayang."

Senyum Albert terbit untuk istrinya. "Kita pulang dulu. Ini sudah malam, besok kita ke sini lagi. Al pulang ke rumah opa dulu, ya."

"Al mau di sini, Opa. Mau lihat Kak Sia bangun."

"Kita akan temui dia besok, Al. Biarkan dia istirahat dulu. Bunda akan tambah sedih jika melihatmu bersedih seperti ini."

"Baiklah, Opa." Al mengikuti Albert yang sudah berdiri sambil mengulurkan tangan pada Indah.

"Bima tetap di sini, Yah. Mereka masih di sini." Bima mengarahkan pandang pada adik-adiknya yang juga sama menolak pulang meski dibujuk oleh orang tuanya.

Romantic Rhapsody  ✔ TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang