Waktu Berkunjung

1K 244 54
                                    

Diskusi membuahkan sebuah janji. Janji untuk saling mengakui keberadaan yang lain, dan ada untuk sama lain.

Diskusi pertama Sia dengan dunia luarnya, membuatnya tersenyum dan bernafas lega kala berbaring di kamar kosnya. "Alhamdulillah. Akhirnya mereka baikan," gumamnya. Dan jangan lupa, sebuah janin tak berdosa telah terselamatkan.

"Tapi Kak Risa? Sedih banget jadi dia." Hatinya tergores dan nyeri jika terbayang senyum Risa saat pertemuan pertama mereka, telah berganti dengan tangisan tanpa suara yang dilihatnya barusan.

Gadis itu menarik nafas dalam. Berpikir keras apa kiranya yang bisa dia lakukan. Hal semacam yang berbau masalah seperti ini adalah baru bagi hidupnya yang nyaris tanpa masalah, dan rasanya dalam seketika Sia ingin menjadi penolong bagi teman-temannya.

"Apa tabungan gue cukup ya, buat bayar hutang Kak Risa?" Sedermawan itu hatinya tergerak. "Tapi, Kak Gina juga butuh uang pasti, buat lahirannya nanti."

Lagi-lagi si Tuan Putri itu kini menarik nafas dalam. Dia ingin menjadi bagian dari kehidupan penuh masalah teman-teman barunya, mengambil peranan agar luka itu bisa dia balut. Tapi Sia tak tahu, bahwa luka itu menganga lebar, dan tak akan sembuh hanya dengan plester pembalut luka.

Ponselnya tiba-tiba bergetar. Nama Sukma membuatnya tersenyum lebar dan detik itu lupa pada masalah yang sebenarnya bukan masalahnya.

"Assalamu'alaikum, Sukma yang cantik!" Tanya riang Sia ada maunya. Soal hukuman yang mungkin sedang mendera adik-adiknya, seperti yang Ibram bilang pagi tadi masih berada di list penasaran di kepalanya. "Lagi apa?"

"Wa'alaikumussalam. Ih, Kak Sia! Ngledek ya?"

Kening Sia berkerut, tak paham apa maksud adik perempuannya di seberang sana. "Ngledek apaan?"

"Sukma lagi cuci piring."

Sia terkikik geli. Gadis itu tahu apa maksud dari gadis SMA bernama lengkap Sukma Satria Prawira itu. "Lo lagi di hotel Opa?"

"Hmm. Sama yang lain juga."

"Terus kenapa telfon kakak? Nanti nggak kelar loh sampai sore." Sia tebak, Sukma dan enam pengawalnya sedang dihukum Albert mencuci piring di resto hotel karena semalam menonton Sean balap motor.

"Kak Sia nggak penasaran, kenapa kami cuci piring?"

"Penasaranlah, pasti. Kenapa hari minggu yang harusnya kalian libur malah milih cuci piring di hotel?" Sia berpura-pura tak tahu, agar jawaban lengkap akan dia dapatkan. Tentang balap motor semalam.

"Kami ketahuan sama Opa lagi nonton Kak Sean balap motor semalam. Dia menang loh!" kata Sukma ceria. Lalu suara protes terdengar dari belakang Sukma. "Arsa berisik deh!"

Sia tertawa. "Arsa protes tuh. Telfon Kak Sia nanti saja kalo cuci piringnya sudah selesai."

Itu cuma alasan Sia saja. Sebuah pesan yang baru saja masuk lebih menarik baginya. Pengirimnya adalah sosok yang tengah dia bicarakan dengan adiknya.

"Iya deh. Kami juga masih ada tugas sekolah yang belum selesai. Mana dikumpulinnya itu besok."

"Ada Raga. Dia akan bantu kalian dengan satu kedipan mata. Udah ya, lain kali Kak Sia traktir makan es krim."

"Jangan es krim, Kak Sean baru traktir pas pulang ngaji kemarin. Gimana kalo Sukma nginep di kosan Kak Sia?"

"Emang Om Satria ngebolehin?"

"Pasti boleh.  Semalam Sukma minta tolong Bunda Mayang buat ngomong ke Papa."

"Curang ya, lo?" Keduanya pun lantas tertawa bersama. "Udah. Jangan sampai ketahuan Opa lagi, karena lagi telfon Kak Sia."

Romantic Rhapsody  ✔ TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang