Wajah berpeluh dan kaki berlarian untuk memperebutkan sebuah bola. Bima, Rangga, Jordy, Arsa, Al dan Raga tengah berada di lapangan basket sekolah. Di bangku penonton hanya ada Sukma seorang yang tengah memainkan game cacing di ponsel saudara kembarnya.
"Jadi lo udah lihat dia pas di Jepang?" tanya Rangga sambil mendribel bola yang di hadang Raga. Dengan nafas memburu dan fokus pada bola, Raga mengangguk. "Kenapa nggak cerita?"
"Biar gue yakin dulu akan semuanya." Raga merebut bola dan Rangga berteriak kesal.
"Kayak mau nembak cewek aja! Mesti yakin dulu," dengus pemuda tinggi berambut kriwil itu. Lalu Jordy menepuk bahunya dan berlari untuk mengejar Raga yang akan mencetak angka. Namun Jordy tak berhasil menggagalkannya.
"Apa sih yang nggak bisa lo lakuin?" tanya Jordy kesal pada Raga yang memberi jempol terbalik padanya dengan ekspresi datarnya. "Terus aja ngeselin! Harus gini ya, ngebahas sesuatu?" tambahnya.
"Biar Sukma nggak tahu!" Bima yang telah mengambil alih bola menyahut si tampan yang memiliki tahi lalat kecil di bawah bibirnya itu. "Sembari membakar lemak di perut gue, nih!"
"Makannya jangan makan mulu, Kak." Al memberi saran.
"Surga terletak di masakan ibu, Al." Petuah Arsa yang masih mencoba mendapatkan bola berwarna kecoklatan yang kini tengah dikuasai Bima.
"Pepatah mana yang ngomong gitu?" balas Al.
"Ngomong bijak nggak perlu ikut kata pepatah. Gue juga bisa!" Arsa akhirnya bisa merebut bola dan melemparnya, bukannya masuk ring tapi bola malah menuju Sukma yang tengah asyik main game. Bola itu hampir mengenainya, tapi kedatangan bola yang tiba-tiba telah membuatnya terkejut hingga ponsel Raga yang dia kuasai terjatuh.
"Apa-apaan sih lo, Sa? Lo sengaja mo balas gue karena tadi nggak sengaja jatuhin ponsel lo? Ini ponsel Raga, tau!" Sukma murka. Dia bahkan berkacak pinggang dengan lucunya.
Arsa berlari mengambil bola sekalian untuk meminta maaf. Begitulah niatnya saat berlari ke tribun. "Gue nggak sengaja, Sukma. Bolanya aja yang bandel, dan malah ke sini."
"Lo sengaja, 'kan?" Sukma belum bisa menerima alasan Arsa, padahal pemuda itu tulus minta maaf.
"Nggak." Arsa bahkan memberi tanda V dengan kedua jarinya sambil tersenyum. Tapi tak ada perubahan pada ekspresi wajah gadis tak kurus itu. Tampak ragu tapi Arsa terlihat menarik nafasnya dalam, lalu berkata, "Ma, masih marah soal teman sekelas gue tadi?"
Pipi Sukma memerah. "Ngapain marah? Lo sok tahu!"
"Ya kalo nggak marah, kenapa banting ponsel gue?"
"Gue nggak sengaja! Lo budeg? Gue juga udah minta maaf tadi."
Arsa menggeleng pasrah. "Nggak sengaja tapi layarnya sampai retak nggak berbentuk gitu. Padahal mereka tadi cuma mau minta kontak guru les." Lalu pemuda itu berjalan lagi untuk kembali ke lapangan. Sahabatnya sudah menunggu bola yang dibawanya.
"Ya kali cuma minta kontak tapi selfi pake rangkul lengan segala. Dan Carissa itu cantik, Sa!"
"Lo lebih cantik, Sukma." Arsa menyahut tanpa menoleh.
"Ya udah, gue maafin!"
Arsa masih tak menoleh juga, tapi senyum tercetak di paras berpeluhnya. Pertandingan tiga lawan tiga pun dilanjutkan sambil membahas sebuah rencana yang sengaja digelapkan dari Sukma. Membahas apapun jika ada dia tak akan mendapat hasil sempurna, tapi hasil yang gadis itu mau. Jika Sukma A, maka hasilnya A.
"Jadi kapan kita beritahu Opa?" tanya Arsa pada Bima.
"Kapan, Ga?" Bima bertanya balik.
"Tunggu, Kak Risa." Raga mencetak angka lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Romantic Rhapsody ✔ TERBIT
RomanceSquel Mayang Senja Memiliki keluarga yang kaya raya sungguh membuatnya menjalani hidup nyaris sempurna. Hidupnya bak tak pernah ada kerikil sejak dia lahir hingga berstatus maba di sebuah kampus ternama. Hingga suatu pagi, putri sulung Mayang Senja...