Balkon rumah kos putri sunyi, padahal ada empat pasang mata yang masih terjaga dan menghirup udara yang sama di sana. Tempat ini selalu pas untuk menjadi lokasi buka-bukaan tentang rahasia yang lama tertutupi.
Malam ini, Sia sedang di sidang oleh ketiga rekannya terkait jati diri yang dia sembunyikan selama beberapa bulan ini dari mereka. Hingga tadi pagi, Sia sendirilah yang melepas topeng di wajahnya yang sudah tidak bisa dia tutupi lagi karena kedatangan kedua orang tua dan keluarga besarnya di care free day dan berakhir makan nasi uduk berjamaah. Papa Sia yang memborong habis dagangan Gina pagi tadi.
Ya, niatnya begitu tadi. Yaitu menyidang gadis bernama Annisa Syafeeya Maryam itu. Tapi di antara Nanda, Gina dan Risa belum satu pun ada yang bicara. Hanya kedipan mata dan nafas berhembus saja yang mengisi hening di antara keempat dara.
Sia ketahuan. Maka ditanya-tanya adalah resiko baginya. Ini pun dia sudah sedikit terlambat disidang karena gadis itu tadi ikut pulang ke rumah orang tuanya dulu dan baru kembali ke rumah kos itu ba'da isya.
"Kakak-kakak yang cantik, katanya mau marah tadi? Kok Sia malah didiemin?" Sia yang tak tahan dengan keheningan yang tercipta, membuka suara agar waktu tak berlalu percuma. "Keburu pagi loh!" Sia lalu menggeser duduknya menghadap si rambut ungu. Dialah yang terlihat paling banyak menyimpan pertanyaan di benaknya. "Kak Nanda? Tanya dong!"
Nanda membalas tatapan Sia lalu berdehem. Wajahnya minim keramahan, tapi mau marah juga enggan. "Asli! Gue pengen marah! Pengen banyak nanya! Tapi mau marah juga kenapa? Lo anak baik, keluarga lo juga. Lagian lo anak Pak Ibram itu! Mau marah udah takut duluan, dia konglomerat berhati malaikat setahu gue! Gila aja gue marahin anaknya. Belum lagi, opa lo, Sia! Mau nyebut namanya juga udah merinding duluan."
Ketiga teman Nanda terkikik. Ekspresi gadis itu menggelitik hati dan mengusir amarah akibat rasa dibohongi yang tadi sempat bersarang sebentar di benak masing-masing. Tapi setelah waktu dan tempat untuk marah telah disediakan, mulut mereka bungkam karena kebaikan tersangka kasus penggelapan jati diri ini selama ini.
"Sudahlah. Kita maafkan saja." Gina merangkul Sia di sisi kanan, lalu Risa merangkul juga dari sisi kiri.
"Dia anak baik. Bahkan yang paling baik di antara kita," tukas Risa.
"Tapi Sia tetap harus minta maaf karena udah nggak jujur dari awal. Nggak ada niat bohong, beneran deh. Kalo Sia jujur pasti kecanggungan seperti ini udah tercipta dari awal. Ya 'kan?"
Nanda segera menyahut, "pantesan lo nggak punya teman. Pasti udah pada minder duluan karena latar belakang keluarga lo yang crazy rich itu, dan lagi, memiliki adik sebanyak itu pasti udah nggak butuh teman 'kan?"
"Maafin, ya?" Sia tulus meminta maaf.
"Perkenalkan diri lo, Sia. Biar kita kenalnya aslinya seorang Sia." Gina berucap ramah. Wanita hamil itu terlihat lelah hari ini. Wajah pucat dan pipi tirus, serta lingkaran hitam di area mata menggambarkan kondisi fisiknya saat ini.
Sia mengangguk lalu berdiri dan bersiap kenalan.
"Gua tanya aja, lo jawab. Jujur tapi ya!" Nanda memberi ide. Sia pun tersenyum lalu mengangguk. "Nama asli lo siapa? Gue udah malas mau googling nama-nama keluarga lo karena tadi udah sempat kesal." Mulai Nanda. Tangannya bersedekap dan wajahnya serius. Sedangkan Gina meletakkan kepalanya di bahu Risa dan memandang gadis yang sudah dianggap adik olehnya itu dengan mata sayunya.
"Nama asli, Annisa Syafeeya Maryam. Mungkin jika googling pun, Kak Nanda nggak bakal nemu. Papa tak suka jati diri kami disebar luaskan. Jadi dia tak pernah mengizinkan media menyentuh kami."
Nanda pun mengangguk paham. "Tunggu dulu deh. Kenapa panggilan lo, 'Sia'? Nggak nyambung tau."
"Nama panggilan dari kecil. Dari kata, 'rahasia'."
KAMU SEDANG MEMBACA
Romantic Rhapsody ✔ TERBIT
RomanceSquel Mayang Senja Memiliki keluarga yang kaya raya sungguh membuatnya menjalani hidup nyaris sempurna. Hidupnya bak tak pernah ada kerikil sejak dia lahir hingga berstatus maba di sebuah kampus ternama. Hingga suatu pagi, putri sulung Mayang Senja...