"Hai, Bestie!" Sia menyambut Sukma yang baru saja masuk ke kamarnya. Gadis yang datang dengan muka murung itu langsung menghambur Sia yang tengah duduk di kursi roda. "Ada apa? Kelihatannya sedih gitu?"
Sukma mengangguk dalam diamnya. "Raina mau dibawa pergi, Kak."
"Sama siapa?"
"Sama mafia."
Tubuh Sia gemetar mendengar kata mafia, seolah mengingatkannya akan keadaannya saat ini yang hanya bisa bergerak dengan kursi beroda itu adalah karena putri dari seorang ketua mafia. Apa rangkaian peristiwa buruk bulan lalu itu belum usai? Pikirnya meracau demikian.
Adik-adiknya yang lain pun menyusul masuk ke kamarnya. Sukma yang belum mau lepas dari dekapannya membuat Sia susah bergerak, jadi menunggu saja di antara pemuda tampan itu yang mendekat padanya.
"Rangga!" serunya pada nama salah satu adiknya yang berada paling dekatnya. "Apa yang terjadi? Kenapa Sukma begini?"
Menggaruk tengkuk dan mencoba mencari bantuan dengan tatapan dari sahabatnya. Hingga Bima berbaik hati mendekat pada keponakannya itu.
"Ada hal kecil yang terjadi tadi di jalan. Lo jangan khawatir. Sukma hanya sedikit kepikiran akan sesuatu. Bagaimana terapi lo? Kami melewatkannya kali ini. Maaf, ya." Bima mencoba mengalihkan, tapi rasanya akan sulit karena Sia justru semakin banyak bertanya. Ditambah, ada kekhawatiran di wajah Sia yang terbaca jelas oleh pemuda tidak kurus itu.
Raga maju, lalu membujuk saudari kembarnya agar mau berdiri. "Kak Sia sakit, Ma. Jangan begini." Tidak ada bantahan apapun, Sukma langsung berdiri dan tiba-tiba tersedu.
"Apa kita akan lepaskan Raina pada saudaranya, Ga?" tanya Sukma terdengar pilu. Wajah-wajah yang mendengar kalimat tanya itu pun ikut tertular sedih.
Sukma dan kecengengannya. Kadang memang menguras isi pikiran mereka agar tangisnya berhenti. Meski sudah terbiasa akan hal itu sejak kecil, tapi harusnya Sia tak ikut melihat ini. Kerja otak mereka harus bekerja double karena Sia juga sedang sakit, dan kali ini ada sangkut pautnya dengan awal mula dia duduk di kursi roda.
"Kak Bim, cerita! Yang lengkap!" desak Sia pada adik dari bundanya itu.
Bima tahu, dia tidak bisa menawar untuk kali ini. Hembusan nafas kasar lolos darinya. "Saudara Raina ingin membawanya pergi. Dia ingin membuat gadis itu aman. Karena menurutnya, Raina akan terus terancam jika bersama kita."
"Apa mereka bisa dipercaya?" Sia makin dilanda ingin tahu. Sedikit yang dia tahu, Raina adalah saudara tiri dari Cindy. Gadis bergaun merah yang telah menembaknya, anak dari pimpinan mafia yang dulu pernah menyandera adik-adiknya beberapa tahun lalu. Punggungnya tiba-tiba terasa nyeri hanya dengan melihat bayangan wajah Cindy di pikirannya. "Apa tak sebaiknya kasih tahu Opa?"
"Nggak perlu, Sia. Ini tak segenting itu. Kami pernah menyelamatkan nyawa saudara Raina itu, jadi nggak mungkin dia jahatin kita."
Sia menghembuskan nafas lega. "Gue ngeri tiap dengar kata 'mafia' itu."
Bima malah terkekeh. "Kalo dengar nama Sean, ngeri juga, nggak?"
Pipi Sia seketika merona. "Apaan sih, Kak Bim?!"
"Cieee .... " Suara regu koor membahana. Bahkan Sukma yang menangis langsung berhenti karena baru saja dia teringat sesuatu.
"Kak Sean tadi nitip pesan," kata Sukma yang sukses membuat Sia mendamba akan satu nama itu. Sean berada jauh dari jangkauan mata, tapi namanya tak pernah gagal membuat darah Sia memanas meski hanya mendengarnya saja. "Jangan curang, terkadang kamu menjelma menjadi awan dan sesekali berbisik seperti angin. Serasa jarak---"
KAMU SEDANG MEMBACA
Romantic Rhapsody ✔ TERBIT
RomanceSquel Mayang Senja Memiliki keluarga yang kaya raya sungguh membuatnya menjalani hidup nyaris sempurna. Hidupnya bak tak pernah ada kerikil sejak dia lahir hingga berstatus maba di sebuah kampus ternama. Hingga suatu pagi, putri sulung Mayang Senja...