Ivander mengamati pakaian Riana dari atas hingga bawah, matanya tertuju pada gaun satin merah muda tanpa lengan yang meluncur anggun hingga selutut. "Apakah kau selalu berpakaian seperti ini?"Riana menoleh dan mengangguk pelan. "Aku memakainya karena gaun ini sangat cocok untuk musim semi." Seulas senyuman tersimpul indah, menambah pesona keanggunannya.
Sebenarnya Ivander belum terbiasa tinggal di bawah satu atap dengan Riana. Meskipun sudah lebih dari seminggu mereka bersama, ia masih merasakan rasa ketidaknyamanan. Apalagi, selama ini ia lebih sering bergaul dengan kaum pria dan jarang—bahkan hampir tidak pernah—berinteraksi dengan wanita. Kehadiran Riana bagai angin segar baginya, namun juga menimbulkan kecanggungan yang sulit ia akui.
"Apa tidak ada pria yang pernah datang ke sini?" Ivander bertanya, suaranya membawa kenangan samar. Pertanyaan ini sudah pernah ia lontarkan saat mereka memanen buah aprikot di kebun, seolah ia terjebak dalam rasa ingin tahu tentang dunia Riana.
"Tidak ada orang asing yang pernah datang ke sini, kecuali dirimu," jawab Riana. Sekali lagi, Ivander merasakan perasaan familiar, ada kelegaan yang terulang.
Ivander mengkhawatirkan Riana, ia seperti anak kecil yang belum memahami apa-apa. Salah satunya mengenai bagaimana ia harus bersikap di hadapan seorang pria, kepolosannya sering sekali membuatnya tampak naif. Ivander tak bisa menampik bahwa pakaian yang dikenakan Riana cukup riskan, tidak pantas untuk dikenakan saat berada di luar atau di tengah orang lain. "Jangan pernah memakai pakaian seperti itu!"
"Memangnya ada apa dengan pakaianku?" tanya Riana penasaran.
"Jangan pakai saja," jawab Ivander cepat.
"Apa aku cantik mengenakan baju ini?" tanya Riana lagi, matanya berbinar penuh rasa penasaran. Awalnya ia tidak berniat bertanya, tetapi setelah Ivander menyinggung soal pakaian, rasa ingin tahunya muncul. Apalagi, gaun merah muda ini adalah pakaian kesukaannya selama musim semi.
Ivander menatap Riana lekat-lekat, dari pangkal rambut hingga ujung kaki. Rambut merah menyala yang menjuntai, manik hijau yang berbinar, kulit bersih dan cantik, serta tubuh ramping yang mempesona—semua itu membuatnya sulit berpaling. "Sangat cantik! Mana mungkin kau tidak cantik? Aku bahkan bersusah payah menahan diri untuk tidak menyentuhmu sejak pertama kali bertemu denganmu," serunya dalam hati.
"Jangan pernah pakai baju seperti itu, terutama di depan seorang pria," ucap Ivander tegas, ia menunjukkan kekhawatiran yang mendalam.
"Memangnya kenapa, jelek ya?" tanya Riana, dengan raut wajah bingung.
"Brengsek! Kau sangat cantik!" umpatnya kasar dalam hati. "Akan ku pastikan mereka akan memakanmu," jawab Ivander.
"Sungguh? Apa kau juga berpikir akan memakanku hanya karena aku jelek?" Riana kembali bertanya, kali ini ia menampakkan raut wajah sedih dan takut.
Ivander menarik napas pendek, dirinya benar-benar tidak bisa menghadapi ketidaktahuan Riana. Ia sudah bersusah payah menahan diri untuk tidak berbuat hal yang buruk, namun perempuan yang ada di hadapannya malah menggodanya. Ivander melangkah mendekat dan berbisik di telinganya, "Sebenarnya aku sudah dari awal ingin memakanmu."
Mendengar bisikan Ivander, Riana terperanjat. "Sebagai bentuk rasa terima kasih karena kau sudah merawatku, aku tidak akan memakanmu. Tapi aku tidak berbohong untuk ingin memakanmu sejak awal," ucap Ivander, suaranya campur aduk antara serius dan menggoda.
"A-apa sebenarnya luka yang ada di tubuhmu, ka-karena kau ingin me-memakan seseorang?" tanya Riana gugup.
Sialan! Ivander menyisir rambutnya ke belakang, benar-benar menyerah dan putus asa menghadapi perempuan yang ada di depannya. "Sudahlah, lupakan!" ucapnya kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Waiting For Lover (Menanti Kekasih)
RomanceDILARANG KERAS PLAGIAT⚠️ Senja kala itu menjadi awal pertemuan yang tak terduga, seolah takdir mengisyaratkan bahwa dialah Sang Penyelamat bagi Kesatria Barat. Sebagai satu-satunya yang tersisa, hatinya tergerak untuk memberikan pertolongan kepada s...