20 - Bertemu

17 2 0
                                    


Pagi yang hening, Riana melangkah menuju rumah kebun, kecemasan kembali datang menyelubungi dirinya. Malam sebelumnya, Dokter Wilson datang dengan tergesa, memeriksa dan merawatnya, ia memberikan obat yang diharapkan bisa mengembalikan kesehatan dan membuatnya tenang. Sejak perginya kedua orang tuanya, tubuh dan jiwa Riana bagai layu, terperangkap dalam ketakutan untuk berhadapan dengan dunia.

Dalam perjalanan, Riana didampingi oleh Paman Parlo, yang dengan penuh keprihatinan selalu mengawasinya. Ia sudah berusaha menahan Riana, mengingat betapa rapuh keadaan putri kesayangan tuannya itu. Namun, bagi Riana rumah kebun adalah tempat yang tepat untuk memulihkan kondisinya yang memburuk, ia membutuhkan tempat yang nyaman dan hangat.

"Paman, kau bisa segera kembali. Aku baik-baik saja di sini," seru Riana, suaranya terdengar lemah.

Paman Parlo, yang telah mengabdikan dirinya di kediaman Loren sejak Riana belum lahir, mengerti betul bagaimana gadis itu. Ia telah melayani keluarga tersebut dalam waktu yang panjang, hingga diangkat menjadi kepala pelayan. Ia hanya bisa mendoakan agar Riana segera pulih dan kembali ceria.

"Nona, saya akan meminta Martha untuk menemani Anda di sini," ucap Paman Parlo sebelum meninggalkan Riana.

Riana menggeleng, "Tidak perlu, Paman."

"Namun, kesehatan Anda lebih penting," seru Paman Parlo, bersikeras. "Beristirahatlah, Nona."

Riana sadar bahwa penolakannya ini sia-sia; Paman Parlo tidak akan mundur dari keputusannya. Ia pun hanya bisa menerima dan menyetujuinya.

Setelah memastikan Riana dalam keadaan tenang, Paman Parlo pun beranjak, memberi perintah kepada Martha untuk menjaga gadis itu hingga sembuh. Rumah kebun adalah tempat yang penuh kenangan bagi Riana, tempat di mana ia menghabiskan musim liburan bersama kedua orang tuanya saat masih kecil, di sana ia berharap dapat menghapus kerinduan yang mendalam.

****

Matahari mulai menembus celah jendela yang tertutup kain, membangunkan Ivander dari tidurnya yang lelap. Hari hampir siang, saatnya ia bersiap meninggalkan Kota Zyra. Kekecewaan terlihat jelas di wajahnya; perjalanan panjang ini terasa sia-sia, dan lelahnya tak terobati.

Kemarin, seharian ia mencari sosok Riana di rumah besar itu, namun tak membuahkan hasil. Malahan, ia nyaris ditangkap oleh para penjaga kediaman tersebut. Riana sepertinya memang tidak ada di sana; sepertinya pencariannya harus meluas ke seluruh desa, bahkan ke kota.

"Seharusnya aku tidak datang ke sini," gerutu Ivander, merebahkan punggungnya pada dinding kayu tempat ia menginap. Ia tampak bukan seperti dirinya yang menggelora, bertekad penuh atas tujuannya.

"Apakah aku harus melupakannya?" Rasa kecewa dan putus asa menghimpit hatinya, dan akhirnya ia menyerah.

"Hah! Sepertinya aku benar-benar gila!" seru Ivander dengan putus asa. Seminggu ini, akal sehatnya lenyap; pikirannya tak mampu jernih, bahkan sering kali ia hampir dituduh mencuri ketika tertangkap sedang mengawasi rumah besar paman Riana. Betapa memalukannya jika teman-temannya mengetahui kabar ini.

Setelah berkemas, Ivander segera menunggang kudanya. Perjalanan pulang kali ini takkan segila sebelumnya; ia bertekad menikmati setiap tempat yang dilalui. Rencananya untuk menemui Riana pun dibatalkan; ia tak akan lagi mendekati rumah besar atau rumah kebun. Kecewa dan lelah telah menggerogoti harapannya. Kini, ia berencana menuju pusat Kota Zyra, sekadar untuk mengusir rasa gundah yang menyelubunginya.

Setibanya di tengah kota, Ivander memilih untuk berjalan kaki, ia ingin lebih menikmati suasana kota di wilayah timur kerajaan. Kota Zyra sangat menunjukkan perbedaan yang mendalam antara pinggiran atau perbatasan kota dengan pusat kota. Di pinggiran kota, ia melihat rumah-rumah tua yang nyaris ambruk, tetapi tetap dihuni—pemandangan yang jauh dari elok. Berbeda sekali dengan pusat kota yang memukau; air mancur dengan ukiran geometris di setiap sudutnya seakan mengundang decak kagum.

Waiting For Lover (Menanti Kekasih)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang