8 - Mudan Merah

17 3 0
                                    


Hembusan angin pagi menerpa wajah Riana dengan halus, ia sudah bersiap akan memetik bunga mudan. Bibirnya tersenyum cerah seolah penuh semangat, padahal perasaannya sedang kalut. Ivander akan pergi hari ini, dan ia tak mampu mengantarkannya; bayang-bayang kepergian ayahnya terus mengusik pikirannya.

"Huh! Baiklah, mari kita berkebun!" serunya lantang, sambil mengepalkan tangannya dengan kuat.

Hari ini Riana pergi pagi-pagi sekali untuk mengalihkan pikirannya. Baginya, lebih baik saat ia kembali, rumah itu sudah kosong, sepi seperti biasanya. Ia akan menganggap kedatangan mereka tidak pernah ada!

Riana melangkahkan kakinya lebar, mengayunkan keranjang sambil menuntun Selma—kuda miliknya—melaju pelan. Tiba-tiba, keranjang itu terlepas dari genggamannya. "Iv-Ivander!" Riana terkejut mendapati Ivander sudah berdiri di belakangnya, menenteng keranjang yang hilang itu.

"Aku akan membantumu."

Riana menggeleng cepat. "Tidak perlu! Lebih baik kau beristirahat saja, bukankah perjalananmu akan panjang?"

Ivander mengabaikan kata-kata Riana dan melangkah lebih dulu, tangannya mengelus lembut surai Selma. "Hari ini kita akan memetik bunga mudan, bukan?" tanyanya, bersemangat.

Riana terdiam, memandangi Ivander dari belakang. Laki-laki itu mengabaikannya dan kembali membuatnya kesal!

"Apakah aku boleh memintanya satu?"

"Ambilah," jawab Riana singkat.

"Bunga itu akan aku berikan kepada seseorang."

"Itu terserah padamu! Aku tidak peduli."

"Tapi sepertinya tidak cukup jika hanya satu. Bolehkah aku meminta lebih?" tanya Ivander, memohon.

"Kau harus membayarnya jika mengambil lebih dari satu!" seru Riana tegas, wajahnya menunjukkan kekesalan.

"Baiklah, baiklah," sahut Ivander, tersenyum lebar. Ia merasa puas berhasil menggoda Riana, membuatnya tampak kesal.

****

Keranjang-keranjang sudah hampir terisi penuh oleh bunga mudan, sementara Riana dan Ivander masih sibuk memilih dan memetiknya dengan hati-hati. Bunga dengan banyak warna itu sangat menawan, putih, merah, ungu, kuning dan merah muda, semuanya sangat cantik. Ivander terpikat oleh bunga mudan berwarna merah, meski warnanya tidak mirip dengan rambut Riana, namun di matanya bunga itu seolah merupakan perwujudan dari diri Riana.

"Awhh..." Riana meringis kesakitan. Ini bukan pertama kalinya ia terluka saat memetik bunga, entah karena tertusuk duri atau terkena batang yang tajam, namun tetap saja jari-jarinya terasa perih.

Mendengar rintihan Riana, Ivander segera bergegas mendekatinya, terlihat gumpalan darah segar di jari telunjuk kanan. Ivander segera merobek sedikit pakaiannya dan membalut jari Riana. "Iv..." panggil Riana lirih, terkejut oleh tindakan Ivander yang tiba-tiba.

"Sepertinya kita sudah memetik banyak bunga, ayo kembali," ucap Ivander setelah selesai membalut jari Riana dan memastikan darah tidak lagi keluar.

"Tidak," Riana menggeleng. "Ada hal lain yang harus aku lakukan." Tujuannya datang pagi-pagi sekali ke kebun adalah untuk menghindari Ivander, ia tidak ingin mengantarkannya pergi. Ingatan akan kejadiaan saat ayahnya berpamitan masih saja terlintas.

"Bukankah kau akan menyerahkan bunga-bunga ini pada pamanmu?"

"Benar, aku akan mengantarnya. Jadi, pulanglah lebih dulu."

"Aku juga akan ikut mengantarnya."

Riana menggeleng cepat. "Tidak! Aku bisa melakukannya sendiri," serunya tegas.

Waiting For Lover (Menanti Kekasih)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang