14 - Keluarga Duke

17 2 0
                                    


Di tengah hamparan rerumputan yang hijau, Ivander merebahkan tubuhnya, letih setelah seharian berkuda tanpa henti. Begitu pun dengan kudanya yang menjadi liar, meronta dalam kemarahan, akibat kelelahan. Tak ada pilihan lain bagi mereka selain beristirahat. Beruntung, sebuah sungai mengalir tidak jauh dari tempat mereka berada, airnya tampak berkilauan di bawah sinar matahari. Ivander membuka perbekalannya, menyantap dua potong roti dengan selai madu, ditambah sepotong daging asap yang sangat menggiurkan.

Meski telah menempuh perjalanan satu hari penuh, perasaan ragu untuk menemui Riana masih saja menghampiri, mendatangkan kegundahan di benak Ivander. "Bagaimana menurutmu, apakah tidak masalah aku menemuinya?" tanyanya pada kuda.

"Apakah dia akan senang?" tanyanya lagi, suara keraguannya bergetar di udara. "Atau sebaliknya, apakah dia justru tidak menyukai kehadiranku?" Ivander terus melayangkan pertanyaan, menatap mata kuda itu, menunggu seolah ia mampu memberikannya jawaban.

Kuda yang sedang ditatapnya hanya diam, sibuk menikmati rerumputan yang melimpah, mengabaikan Ivander. "Hey, aku bertanya padamu! Setidaknya berikan jawaban untukku!" serunya dengan geram. Ia menyadari bahwa bertanya pada seekor kuda hanyalah sebuah kesia-siaan. Namun, rasa putus asa dalam dirinya meluap tak tertahan. Seolah tak ada yang bisa mengerti beban yang dipikul oleh pikiran dan perasaannya.

Manik biru gelap itu menatap gusar pada kuda yang berdiri tak jauh darinya. Ivander tidak menamai kuda kesayangannya, berbeda dengan teman-temannya yang memberi nama pada tunggangan mereka. Ia hanya memanggilnya kuda saja. "Apakah aku harus memberimu nama?" tanyanya yang hanya mendapat suara ringkikan, seolah menjawab bahwa kuda itu tidak menginginkan sebuah nama.

"Sialan kau!" umpatnya kesal. Bagaimana bisa seekor kuda mengindahkan pertanyaan tentang menamainya, tetapi mengabaikannya saat ia bertanya tentang Riana. Dasar kuda tidak tahu diri!

Matahari tampak merangkak menuju ufuk barat, menandakan bahwa sore hari semakin dekat. Ivander harus mencari tempat peristirahatan lain sebelum gelap, beristirahat di dekat sungai bukanlah pilihan yang bijak, terutama di musim panas seperti ini, karena sungai—yang menjadi sumber air—akan lebih sering dikunjungi binatang hutan.

"Selesaikan makanmu cepat! Kita harus segera mencari tempat untuk beristirahat," seru Ivander kepada kudanya yang masih sibuk mengunyah rumput.

Perjalanan masih harus menempuh sekitar dua hari lagi, dan selama waktu itu, Ivander harus menanggung kebimbangan dalam benaknya. Pertanyaan apakah ia harus menemui Riana atau pertanyaan bagaimana sikap Riana saat melihatnya, berputar-putar tanpa henti hingga menciptakan keraguan akan perasaannya.

****

Manik biru cerah berkilau, bak langit luas milik Vilda membulat lebar, terpaku, tak percaya mendengar kisah yang dibagikan sahabatnya. Apa yang telah dialami Riana tampak seolah keluar dari buku dongeng, tentang peri cantik yang menyelamatkan kesatria. Namun, itulah kenyataan yang terjadi, Riana telah menjadi penyelamat bagi seorang kesatria barat yang terluka di penghujung hidupnya.

"Siapakah gerangan kesatria dari barat itu?" tanya Vilda, menggoda dengan penuh rasa ingin tahu.

"Aku tak dapat menyebutkan namanya. Aku telah berjanji untuk tidak memberitahu kepada siapa pun," jawab Riana sedikit malu, sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Pipinya masih bersemu merah meski ia telah mengakhiri ceritanya.

Vilda menarik napas panjang, berusaha menenangkan perasaanya yang menggebu-gebu, seolah kisah sahabatnya adalah kisah roman yang agung. Riana telah menolong seorang kesatria yang terluka di ambang maut, merawatnya hingga pulih, bahkan mereka sempat berbagi hari-hari dalam kehangatan yang tak terlupakan. Pasti hati sahabatnya kini sedang dilanda rindu, sebab sudah lama mereka tak bertemu dan tak tahu kabar masing-masing.

Waiting For Lover (Menanti Kekasih)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang