Riana menatap laki-laki di hadapannya dengan rasa tak percaya. Bagaimana mungkin ia, meski tubuhnya sudah terkulai lemah, tetap bersikeras melanjutkan perjalanan? Apakah ia menganggap kematian adalah hal yang remeh? Terlebih lagi, ia melawan para pengkhianat itu sendiri, apakah semua kesatria seperti itu?"Di mana para prajuritmu? Apakah mereka baik-baik saja?" tanya Riana khawatir.
"Jangan khawatir, mereka pasti baik-baik saja," jawab Ivander meyakinkan. Ya, prajuritnya pasti baik-baik saja, namun apakah tugas rahasia mereka telah terendus oleh musuh?
"Syukurlah," Riana menghela napas lega. "Lalu, apakah besok kau benar-benar akan kembali?"
Ivander mengangguk. "Lagi pula, aku tidak ingin menghabiskan daging milik nona muda ini."
"Jangan mengolokku!" Riana memukul pelan tubuh Ivander, bibirnya mengerucut.
"Akh, sakit!" Ivander berpura-pura merintih, membuat suasana menjadi lebih ringan.
Riana mengabaikan tingkah Ivander, yakin bahwa pukulannya itu sangat lemah. Manik hijau itu kini mengamati tubuh kekar Ivander yang berdiri tegap di hadapannya dengan lekukan otot yang tercetak jelas. "Apakah semua pria memiliki tubuh sekuat ini?" Pertanyaan itu melintas dalam pikirannya, membuatnya merenung tentang kekuatan dan ketangguhan yang dimiliki kaum lelaki.
"Mungkin," timpal Ivander.
Riana mengerjap-ngerjapkan matanya tak percaya. Bukankah ia baru saja bertanya dalam hati? Lalu, bagaimana Ivander bisa mendengarnya?
"Kau mengatakannya dengan jelas, aku bisa mendengarnya." Dengan senyum jahil, Ivander menjentikkan jarinya ke dahi Riana, membuatnya meringis.
"Bisakah kau berpura-pura tidak mendengar?"
"Haruskah aku begitu?"
Riana mengangguk. "Seorang kesatria harus bersikap baik pada wanita dan anak-anak."
"Kau benar." Ivander mengiyakannya dengan cepat, di hadapannya Riana tampak seperti anak kecil. "Kau memang masih anak-anak," lanjutnya.
"Aku bukan anak-anak!" Riana cemberut kesal. "Aku sudah berusia delapan belas tahun!"
"Kau masih sangat muda."
"Kau pun sama!" balas Riana cepat.
"Setidaknya aku lebih tua darimu. Usiaku dua puluh empat tahun, dan saat aku berusia lima belas tahun, aku sudah menjadi prajurit muda." Ivander berbicara dengan bangga, bahkan ia hanya menjalani pelatihan prajurit selama satu tahun.
"Apakah anak semuda itu bisa menjadi prajurit?"
Ivander menggeleng. "Aku tidak yakin, tapi rata-rata usia prajurit muda adalah tujuh belas tahun, dan itu pun jika mereka berhasil."
Riana mengangguk, berpura-pura memahami, padahal ia ingin segera mengakhiri pembicaraan tentang kesatria. Bukan karena tak suka, melainkan karena ketidaktahuannya. Baginya, kesatria adalah sosok yang mengagumkan dan pemberani, meski terkadang mereka tampak menakutkan.
"Apa kau akan terus duduk di sini?" Pertanyaan Ivander menyadarkan Riana bahwa mereka sudah cukup lama berada di sana, bahkan matahari sudah semakin tinggi. Buru-buru Riana berdiri, namun tanpa sadar kakinya terjerat jubah hitam yang dikenakannya. Dalam sekejap, ia berusaha meraih apa pun yang bisa menolongnya agar tidak terjatuh.
Bruk! Suara gedebuk menggema keras memenuhi kamar. Tangan Riana sempat meraih lengan Ivander, namun keduanya malah terjatuh bersamaan. Dengan mata terpejam, Riana bersiap merasakan sakit yang akan menghampirinya, namun yang ia tunggu tak kunjung datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Waiting For Lover (Menanti Kekasih)
RomanceDILARANG KERAS PLAGIAT⚠️ Senja kala itu menjadi awal pertemuan yang tak terduga, seolah takdir mengisyaratkan bahwa dialah Sang Penyelamat bagi Kesatria Barat. Sebagai satu-satunya yang tersisa, hatinya tergerak untuk memberikan pertolongan kepada s...