18 - Anak Panah yang Terbelah

8 2 0
                                    


Suara derap langkah kuda yang berpacu kencang kini perlahan sedikit mereda, kuda yang Victor tunggangi memelankan lajunya. Ia sedang berlatih memanah sambil berkuda di hutan yang rimbun. Ia bertekad menjadi murid terbaik yang dapat lulus dengan cepat, sehingga Victor tidak pernah berhenti berlatih. Manik birunya mengawasi seekor burung yang tengah terbang, perlahan ia menarik busurnya dan melepaskan anak panah ke udara.

Wuush...

Taakk!!

Bukan seekor burung yang ia panah, melainkan sebuah anak panah lain. Sorot matanya yang mengarah pada seekor burung berpindah cepat pada asal anak panah itu berasal. Di sana, Victor mendapati seorang wanita bersurai perak yang berkilau di bawah sinar matahari, terikat rapi ke belakang. Dengan busur panah di tangan, wanita itu duduk anggun di atas kuda berwarna cokelat muda, tampak memancarkan aura yang memikat.

"Kau menggagalkan buruanku," ucap Victor dengan nada kesal.

"Bukankah kau yang menggagalkan buruanku? Anak panahku terbelah karena ulahmu!" balas wanita itu juga tidak kalah kesal.

"Burung itu buruanku!" tegas Victor, suaranya meninggi.

"Burung itu milikku! Sudah jelas bahwa panahku yang lebih dulu akan sampai!" wanita itu menegaskan.

"Panahmu yang menghalangiku!" ucap Victor menyanggah.

"Apa kau tidak melihatnya? Panahmu yang merusak anak panahku!" balas wanita itu, tetap bersikeras. Suasana di antara mereka semakin tegang, seolah pertentangan ini tak akan berujung.

Victor mengamati wanita di hadapannya dengan saksama, dari pangkal rambut hingga ujung kaki. Ia mengenali sosok berkulit putih pucat itu; bukankah ia adalah Belinda Montena, putri Count Montena? "Tidak kusangka akan bertemu seorang wanita sedang berburu sendirian di tengah hutan. Di manakah para pengawalmu, Nona?" tanyanya, nada sarkastis mulai menyelinap meski kini terdengar lebih sopan.

"Apakah seorang murid dapat berburu sendirian di tengah hutan dengan bebas? Di manakah prajurit yang mengawasimu, anak muda?" balas Belinda dengan nada sarkas yang setara, memperhatikan pakaian Victor yang mencolok sebagai murid prajurit timur. Wajahnya terasa familiar, meski ia masih berusaha mengingat siapa laki-laki di depannya.

"Tidak ada larangan bagiku untuk berburu di hutan. Lagi pula, ini waktu istirahatku," jawab Victor dengan sedikit ketus.

"Tidak ada larangan juga bagiku berburu sendirian di hutan ini, dan apa urusanmu dengan hal itu?" timpalnya tegas. Suasana di antara mereka semakin tegang, bak dua pemanah yang saling menantang.

"Sepertinya kau adalah seorang bangsawan muda yang angkuh, benarkah begitu, Nona?" tanya Victor dengan nada sinis.

"Ya, dan kau adalah bakal prajurit yang tak kalah angkuh!" balas Belinda, mengejeknya.

"Setidaknya aku lebih kuat darimu, dan hutan ini sudah menjadi sahabat bagi prajurit," ucap Victor, menegaskan posisinya.

"Setidaknya aku lebih sopan darimu!" seru Belinda, dengan raut wajah kesal yang semakin tampak jelas. "Dan lihat, kau seorang pria. Wajar jika kau lebih kuat dariku. Namun, ingatlah, aku bukan wanita lemah, dan aku tidak takut pada hutan!" lanjutnya, tatapannya sangat membara.

"Baiklah, satu pesanku untukmu, berhati-hatilah jika kau diserang serigala, aku harap kau masih hidup, Nona Pewaris Keluarga MON-TE-NA," ucap Victor dengan penuh penekanan sebelum ia pergi meninggalkan Belinda.

"Aku harap juga begitu, semoga kau tidak mati dimangsanya!" seru Belinda, membalasnya.

Surai kuning keemasan dengan manik biru yang tak asing itu mengingatkannya pada anak kembar Viscount Varhadt—pria itu adalah Victor Varhadt. "Dasar anak kecil yang tidak tahu sopan santun!" umpat Belinda, amarahnya memuncak.

Waiting For Lover (Menanti Kekasih)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang