Dalam dekapan malam yang sunyi, Riana terjaga di dalam kamarnya, terkurung dalam bayangan sebuah peristiwa yang tak terduga. Ingatan tentang ciuman melintas, menyulut bara merah di pipinya. "Apa yang sedang aku pikirkan?" gumamnya, menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Seharusnya ia marah, seharusnya ia merasa terhina, namun rasa malulah yang justru membanjiri pikirannya. Kejadian yang baru berlalu itu enggan menghilang, membangkitkan rasa yang belum pernah muncul di hati seorang gadis dari keluarga bangsawan.Sementara itu, di ruangan lain, Ivander merutuki dirinya sendiri tanpa henti. Seharusnya ia mampu menahan diri, bagaimana jika Riana marah? "Arghh! Tentu saja ia marah!" serunya dengan nada putus asa, meremas jemarinya kuat seolah ingin menghapus jejak kesalahan yang telah terlanjur terjadi.
Brengsek kau, Ivander!
****
Cahaya matahari menerobos celah jendela, membawa serta kicauan burung yang terdengar seperti melodi menyambut pagi. Riana mengerjapkan matanya perlahan, menyadari bahwa ia bangun lebih larut dari biasanya, wajar saja setelah semalaman terjaga memikirkan ciuman yang tak terduga itu.
"Hah! Mengapa aku harus mengingatnya sepagi ini?" gerutunya, rasa putus asa mengalir dalam suaranya. Riana menggelengkan kepalanya cepat, berusaha mengusir kenangan yang mengganggu.
Ia bangkit dari tempat tidur, lalu mengambil selendang yang tersampir di dekatnya sambil menatap pantulan dirinya dari cermin rias. Gaun merah muda yang dikenakannya masih memancarkan pesona, meski rambut merahnya sedikit berantakan, begitu pula dengan raut wajahnya. Manik hijau itu menatap lekat ke depan cermin, ia merasa bibirnya sedikit bengkak.
"Aahh, aku pasti sudah gila!" serunya, buru-buru menjauh dari cermin saat ingatan tentang ciuman itu kembali menghantui. Dengan cepat, Riana melepaskan selendangnya, ia menolak mengenakan gaun merah muda itu lagi.
Gaun panjang berwarna biru membungkus seluruh tubuh Riana, dilengkapi rompi coklat dan jubah hitam yang menambah kesan aneh pada penampilannya. Di tengah cuaca yang mulai panas, pilihan berpakaian itu tampak tidak masuk akal. Sangat menggelikan!
Riana melangkahkan kaki pelan, mengerjap-ngerjap saat keluar dari kamar. Hari ini, ia tidak perlu pergi ke kebun; semua pekerjaan telah selesai berkat bantuan Ivander. Namun, tidak ada hal yang harus ia lakukan justru membuatnya putus asa, karena ingatan tentang kejadian semalam terus berputar tanpa henti.
"Kau mau pergi ke mana pagi ini?" Suara Ivander terdengar dari belakang, berhasil menembus kekacauan pikiran Riana.
Riana membalikkan badannya, mendapati sosok lelaki bertubuh tinggi yang sedang menatapnya. "A-aku tidak mau pergi," ucapnya, berusaha bersikap tenang.
Ivander mengangkat sebelah alisnya, mengamati Riana dari ujung rambut hingga ujung kaki. Gaun panjang berbahan tebal, ditimpa rompi cokelat dan jubah hitam, menutupi seluruh tubuhnya hampir tak tersisa. "Apa kau sakit?" tanyanya, nada khawatir tercermin dalam suaranya. Ia tidak bisa mengabaikan kesan aneh dari penampilan Riana yang begitu berbeda.
Ivander melangkah mendekat, berniat menyentuh dahi Riana, tetapi dengan cepat, Riana mundur, menjauh darinya. "A-aku baik-baik saja," ujarnya, meski nada suaranya terdengar kurang meyakinkan. Ia berusaha menutupi kecanggungan yang melanda.
Melihat tingkah Riana yang aneh hari ini membuat Ivander mengernyitkan dahinya. "Kalau begitu ayo kita makan, aku sudah menyiapkannya," ajaknya.
Riana mengangguk, mengikuti Ivander di belakang. Namun, pikirannya terus terjebak dalam ingatan kejadian semalam. Ia tidak bisa memahami bagaimana Ivander bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka; betapa menyebalkannya sikapnya itu!
KAMU SEDANG MEMBACA
Waiting For Lover (Menanti Kekasih)
RomanceDILARANG KERAS PLAGIAT⚠️ Senja kala itu menjadi awal pertemuan yang tak terduga, seolah takdir mengisyaratkan bahwa dialah Sang Penyelamat bagi Kesatria Barat. Sebagai satu-satunya yang tersisa, hatinya tergerak untuk memberikan pertolongan kepada s...